Abu Hanifah
(1906-1980)
Membangun Perangai Ilmiah Bangsa Indonesia

“Negara baru mesti memiliki fondasi pendidikan yang kuat untuk generasi mudanya. Semakin sehat dan baik dasar pendidikannya, semakin cerah pula masa depan negara baru,”
Tidak selang lama setelah Indonesia merdeka, seorang dokter sekaligus seniman dan ahli filsafat menjadi sosok pertama yang paling serius mengupayakan agar pemerintah Republik Indonesia membangun perangai ilmiah. Ia adalah Abu Hanifah gelar datuk Maharaja Emas lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 6 Januari 1906.
Abu meraih gelar Indische Arts (Dokter Hindia) dari STOVIA pada 1932. Ia aktif dalam pergerakan nasional dan termasuk Angkatan 1928 yang menggelar Kongres Pemuda serta melahirkan Sumpah Pemuda. Mulanya ia selama 1923–1926 memimpin redaksi Jong Sumatra, Penerbitan Jong Sumatranen Bond yang giat menyebarkan gagasan persatuan Indonesia. Ketika Kongres Pemuda II berlangsung, ia redaktur majalah Pemuda Indonesia yang melaporkan hasil-hasil kongres. Selain itu selama 1923–1930, ia juga menerbitkan Indonesia Raya untuk PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) dan Indonesia Muda pada 1931.
Lulus dari STOVIA, Abu ditugaskan di Medan. Ia menjadi asisten Prof. Dr. Heinemman, ahli kandungan asal Jerman, di Tanjung Morawa perkebunan dekat Medan. Selain memperdalam ilmunya tentang penyakit dalam dan kandungan dari Heinemann, ia pun membuka praktik dokter partikelir dengan pasien kuli-kuli kontrak di perkebunan, terutama perempuan. Mereka dilihatnya sebagai kaum yang paling menderita atas eksploitasi kolonial. Kuli-kuli hanya dilihat sebagai alat produksi. Budak yang diikat hukum kolonial kejam menindas, seperti Poenale Sanctie dan Koeli Ordonantie. Abu menentang itu dengan melibatkan diri dalam Sarikat Islam Medan yang menuntut penghapusan kedua aturan jahat itu.
Pada 1934, Abu dipindahkan ke pedalaman yang masih dikungkung rimba raya Sumatra, yaitu Kabupaten Indragiri. Ini perkebunan karet yang sangat kaya. Maskapai-maskapai raksasa perkebunan Belanda tumbuh di antara perkebunan rakyat. Di sini ia sibuk meneliti penyakit, seperti malaria dan gondok yang menunjukkan kualitasnya sebagai ilmuwan. Ia pun berusaha mewariskan fasilitas kesehatan bagi masyarakat. Ia mendirikan rumah sakit, poliklinik, sekolah bidan dan program pemberantasan sarang malaria. Ia pun jadi populer tetapi, popularitas itu juga membuat pemerintah kolonial waswas. Ia diisukan sebagai “dokter komunis”. Gara-gara itu, Abu diperintahkan kembali ke Batavia.
Kelak pada 1952, Abu menulis pengalamannya bertugas dalam novel Dokter Rimbu dengan nama samaran El Hakim. Ia memang terkenal lincah dalam banyak lapangan pegetahuan, selain sebagai sastrawan juga pelukis sekaligus ahli filsafat yang menulis buku Rintisan Filsafat. Abu di antara sastrawan Angkatan 45 terkenal sebagai penulis lakon Taufan di Atas Asia di masa Jepang yang dimainkan dalam himpunan sandiwara penggemar Maya bersama saudaranya Usmar Ismail.
Pada 1950, Sukarno dan Mohammad Hatta mengundang Abu ke istana. Ia telah akrab dengan dwitunggal itu sejak zaman Jepang, ketika menjadi anggota terkemuka Barisan Pemuda Asia Raya dan Barisan Hizbullah. Abu yang saat itu tokoh Partai Masjumi diminta Presiden dan Perdana Menteri RIS baru tersebut menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK). Tugasnya sesegera mungkin mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan nasional.
Hal pertama yang dilakukan Abu adalah menemui para profesor Belanda yang selama masa kolonial menjadi peneliti di berbagai lembaga riset dan pengajar aneka mata kuliah penting di berbagai institusi pendidikan. Abu meminta mereka tetap tinggal di Indonesia sebab dibutuhkan untuk mendidik pemuda Indonesia agar siap menggantikan para gurunya. Abu memastikan akan menjaga mereka melewati masa transisi yang sulit pasca kemerdekaan.
Namun, karena itu Abu dicap pro-Belanda. Presiden Sukarno serta Perdana Menteri berada dalam kelompok ini. Ironisnya ia pun diserang di dalam partainya sendiri, Masjumi, sebagai tidak nasionalis dan hendak diganti. Petisi dari perhimpunan mahasiswa sosialis yang diterima Perdana Menteri Hatta menyatakan keberatan atas kebijakan-kebijakan Abu. Ia kaget bahwa kata nasional dalam sistem pendidikan menjadi semacam nasionalisme yang cupet. Nasionalisme yang tidak sehat ini betul-betul menyulitkan Abu menjalani tugas yang menjadi idealismenya: sebuah negara baru mesti memiliki fondasi pendidikan yang kuat untuk generasi mudanya, semakin sehat dan baik dasar pendidikannya, semakin cerah pula masa depan negara baru ini. Demikian Abu menulis dalam autobiografinya Tales of a Revolution.
Serangan itu datang sejak bulan-bulan pertama ia menjabat. Saat ia berusaha fokus merancang sistem pendidikan nasional yang salah satunya adalah memperbaiki dan menggabungkan fakultas-fakultas yang tersebar di Jakarta, Bogor, dan Bandung menjadi Universitas Indonesia (UI). Perjanjian-perjanjian dengan universitas luar negeri sudah diteken dan para profesor tamu. Pelatihan-pelatihan juga digelar untuk meningkatkan kapasitas guru-guru sekolah. Ia membenahi Balai Pustaka. Abu bertekad meningkatkan kualitas penerbitan, melakukan pembaruan sistem dan kepegawaian, serta memastikan kualitas isi bacaan remaja.
Abu tidak menghiraukan, ia terus berupaya mencari jalan hubungan diplomatik ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan Indonesia-Belanda tetap berlanjut. Selain bertemu Ratu Juliana, Abu juga bertemu Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (KNAW, Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda) di Amsterdam dan menjabarkan cita-citanya mengenai pendidikan Indonesia. Abu juga membuka hubungan kerja sama di bidang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan dengan negara-negara di Asia. Sekembalinya dari Eropa, Abu mulai menyiapkan rencana mendirikan akademi ilmu pengetahuan di Indonesia.
Namun, serangan menghebat seiring kebijakan nasionalisasi atau pengambilalihan aset asing. Ini memunculkan kerepotan teknis dalam transfer ilmu pengetahuan karena selain para pengajar dan peneliti Belanda itu dianggap tak pantas ada dalam sistem pendidikan nasional, begitu pula penggunaan buku-buku ajar perguruan tinggi berbahasa Belanda distop. Padahal bukan soal mudah segera mengisi ketiadaan buku ajar berbahasa Indonesia. Abu pun dituntut memecat semua pengajar Belanda dan menggantinya dengan pengajar dari India, Filipina, atau bahkan Arab. Ia menolak sebab itulah satu-satunya jalan untuk membangun fondasi yang kokoh bagi pendidikan Indonesia.
Dr. Ir. Roosseno, intelektual sekaligus sahabat Sukarno, mengenang masa itu mengungkapkan dengan sedih: “Indonesia kehilangan modal intelektual di masa transisi ini.” Akar gagalnya membangun perangai ilmiah sebagaimana ditunjuk jalannya oleh pembukaan UUD 1945 melalui upaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” terjadi sudah jauh hari, manakala Republik Indonesia masih balita.
Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar pada 17 Agustus 1950, begitu juga Kabinet Hatta. Bersamaan semua rencana kerja kementerian PPK yang dirumuskan Abu ditinggalkan. Semua perjanjian kerja sama dengan universitas luar negeri dan rencana kedatangan pengajar tamu dibatalkan.
Abu meninggal karena kangker prostat pada 4 Januari 1980. Jenazahnya dibawa dari rumahnya di Duren Tiga ke pemakaman rakyat Karet Bivak, Tanah Abang. Pada hari itu dari dalam kubur suaranya terasa lantang terdengar melalui mulut kawan-kawannya, Mohammad Roem, Mohammad Natsir, L.N. Palar, Arnold Mononutu, Sunaryo yang mengingatkan kembali tentang ia sebagai salah satu pendiri bangsa yang paling serius mengupayakan pencerdasan kehidupan bangsa, sebab bangsa tanpa penguasaan atas ilmu pengetahuan tak punya masa depan dan hidup penuh penghinaan.