Chaerul Saleh

(1916-1967)

Anak Nakal Menjadi Pemuda Revolusi

Chaerul Saleh

Tak salah lagi tanpa campur tangannya luas laut Indonesia tidak akan bertambah dari 100.000 km persegi menjadi 3.000.000 km persegi dan bertambah lagi menjadi 8.000.000 km persegi. Chairul Saleh adalah akar yang memungkinkan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai tonggak tegaknya wilayah kedaulatan Indonesia, terutama di laut sebagai negara kepulauan, dideklarasikan oleh Perdana Menteri Djuanda pada 1957. 

Saat itu Chairul adalah Menteri Urusan Veteran dengan sejumlah ahli hukum tata negara dan hukum laut di dalam kementeriannya. Chairul sendiri memang jebolan RHS (Rechts Hoge School) atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia tahun 1934. Ia lahir 13 September 1916 di Sawah Lunto, Sumatera Barat. Putra tertua dokter Achmad Saleh dengan Zubaidah binti Achmad Marzuki. Sebelum masuk RHS, ia menyelesaikan pendidikan dasar menengahnya di ELS Medan dan Bukitinggi lalu sesudah itu di HBS Medan. 

Setelah di RHS, Chaerul pada 1937 membantu membentuk Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang terkenal paling radikal di antar semua perkumpulan atau persatuan mahasiswa. Dialah yang terakhir menjabat ketua oragnisasi ini sebelum pecah perang Asia Timur Raya. Pada zaman pendudukan Jepang, Chairul bukan hanya bekerja pada Sendenbu—badan propaganda Jepang, melainkan juga memimpin Baperpi (Badan Perwakilan Pelajar-Pelajar Indonesia) yang didirikan untuk membantu mahasiswa-mahasiswa atau pelajar yang kandas dan melarat karena situasi perang. Pada 1940, ia menikahi putri Datuk Tumenggung, seorang aristokrat Minangkabau. 

Tak selang lama, Jepang menggantikan kedudukan Belanda. PPPI merasa angin segar datang, tetapi dengan cepat dikoreksi. Jepang melarang pengibaran bendera, membubarkan partai dan perkumpulan. Chaerul menyusup ke dalam lembaga-lembaga mobilisasi pemuda yang didorong Jepang. Ia membentuk Asrama Angkatan Baru Indonesia di Menteng Raya 31 yang terkenal menjadi markas pemuda revolusioner. Mereka inilah yang kemudian membuat konfrensi pemuda angkatan baru pada 1944 yang menyerukan persatuan pemuda dan menuntut kemerdekaan sekarang juga bukan kelak di kemudian hari. 

Chairul menjadi sohor karena mewakili garis paling keras dari sikap pemuda tentang cara pelaksanaan kemerdekaan Indonesia. Sejak awal 1945, Chaerul menjadikan rumahnya ruang membicarakan secara ruting pergerakan kemerdekaan. Ia memainkan peranan penting menggerakkan massa pemuda-pelajar dan mahasiswa untuk mematangkan situasi percepatan proklamasi bersama Sukarni. Ia bukan saja terlibat penculikan Sukarno-Hatta ke Rengas Dengklok, tetapi otak di balik penculikan tu bersama Sukarni. Ia juga satu-satunya yang tetap memprotes ketika di rumah Maeda naskah proklamasi selesai dirumuskan dan dibacakan di depan anggota PPKI oleh Sukarno. Ia menjadi pemuda terakhir yang terus memaksa dengan gigih agar aspirasi kelompok pemuda soal pelaksanaan kemerdekaan terwakili di dalam teks itu.

Riwayat hidup Chairul adalah perjalanan anak nakal yang bertukar jalan menjadi seorang pemuda revolusi yang keras dan cerdas. Setelah proklamasi kemerdekaan, ia ikut barisan yang bersikeras ingin merebut kekuasaan dari Jepang dengan alasan hanya dengan demikian kedaulatan Republik Indonesia tegak tidak dikatakan buatan Jepang. Bersama pemuda Menteng 31, ia mengadakan siaran radio gerilya dengan pemancar gelap yang berpidah-pindah di daam kota. Chairul ikut pula mendirikan organisasi API (Angkatan Pemuda Indonesia) pada 1 September 1945 dan berada di bawah naungan markas besar Komite van Aksi yang di Asrama Menteng 31. Komite ini juga yang membidani terjadinya Peristiwa Ikada 19 September 1945.

Chairul turut bersama Divisi Siliwangi melakukan Long March dari Yogyakarta ke Karawang dan Sanggabuana. Akhirnya ia bergabung dengan Laskar Rakyat Jawa Barat Divisi 17 Agustus dan ditunjuk sebagai Ketua Dewan Politik. Tak selang lama setelah proklamasi, Chaerul sibuk denan jabatan rangkap, Ketua Badan Kongres Pemuda pejuang di Yogyakarta pada November 1945, Ketua Dewan Politik Laskar Rakyat Jakarta Raya. Ini masih ditambah setelah Chaerul ke Solo untuk bergabung mendirikan kelompok Persatuan Perjuangan yang dibentuk atas prakarsa Tan Malaka yang melawan politik kompromi pemerintah terhadap Belanda. “Akui dulu Indonesia merdeka 100 persen, baru berunding,” ungkap Chaerul. Ia di sini menjabat sebagai Ketua Biro Politik Persatuan Perjuangan. Ia juga ikut ketika Tan Malaka mendirikan Partai Murba pada 1948. Saat KMB, ia menentang dan mencetuskan Peristiwa Banten Selatan yang membuatnya dipenjara berpindah-pindah dari Penjara Paledang, Gang Tengah, Glodok hingga Nusakambangan selama dua tahun (1950-1952) karena dianggap melanggar hukum. 

Chairul menaik kembali karirnya saat Mohammad Yamin, tokoh Murba, menjadi Menteri Kehakiman pada Kabinet Wilopo. Ia dibebaskan dari penjara dan dikenakan “pembuangan” ke Bern, Swiss. Ia kemudian melanjutkan sekolah di Fakultas Hukum Universitas Bonn di Jerman Barat 1952–1955. Di sini, ia menghimpun para pelajar Indonesia dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Setelah kembali dari “pembuangan” ke tanah air pada Februari 1956, ia melakukan rekonsiliasi dengan Sukarno dan segera menjadi lingkar dalam kekuasaan. Ia tidak masuk partai tetapi kembali ke tenaga revolusioner laskar rakyat yang saat itu meslipun jelas besar jasanya dalam revolusi tetapi dilupakan dan hidupnya menyedihkan. Desember 1956, ia diangkat menjadi Wakil Ketua Umum Legiun Veteran RI.

Seiring menaiknya gagasan Demokrasi Terpimpin, Chairul memasuki lembaga-lembaga penting negara dan begitu dekat dengan Sukarno. Pada 9 April 1957, ia diangkat menjadi Menteri Urusan Veteran dalam Kabinet Karya. Lantas 10 Juli 1959, ia diangkat pada Kementrian Perdatam (Perindustrian Dasar dan Pertambangan dan Migas) dalam Kabinet Kerja I (1960-1963). Selanjutnya menjadi Ketua MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) antara 1960 sampai 1965. Ia juga duduk di Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III (1963-1966). Pada 13 November 1963, ia diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri III, IV dan Kabinet Dwikora (1963-1966).

Pasca G30S 1965, Chairul dipenjarakan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo tanpa pernah diajukan ke meja hijau sebagaimana banyak tahanan politik lainnya di masa itu. Ia meninggal sebagai tahanan negara yang menyisakan banyak pertanyaan pada 8 Februari 1967, di usia 50 tahun. Setelah meninggal Jenderal Soeharto sebagai Menteri/Panglima Angatan Darat/Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban mengirimkan surat yang menyatakan “bahwa Chairul Saleh tidak terlibat G30S/PKI”. Namun, terasa ganjil karena pada 29 April 1967, Jenderal Soeharto kembali mengeluarkan surat pernyataan “Menutup perkara ex. Ketua MPRS/Wail Perdana Menteri Cairul Saleh”. 

Chairul dikuburkan di Karet, meskipun ia punya hak sebagai pemegang Bintang Maha Putra dan seorang jenderal. Namun, keluarga memutuskan memakamkannya di pemakaman rakyat tertua di Betawi. Semula ingindi dekat makam MH Thamrin atau di sebelah makam Chairil Anwar, tetapi kemudian sekelompok dengan makam keluarganya, Achmar Yahya.

Lihat Profil Tokoh Bangsa Lainnya