Chairil Anwar

(1922-1949)

Tonggak Kesustraan Modern Indonesia

Chairil Anwar

“Kenang-kenanglah kami. Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu”

Kepada siapakah gelar tonggak kesusastraan modern Indonesia jatuh? Chairil Anwar. Saking pentingnya tanggal wafatnya, yakni pada 28 April, kemudian diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Meskipun hanya menghasilkan 96 karya sastra, jumlah yang sedikit dan sudah termasuk 70 puisi, tetapi Chairil Anwar dianggap pelopor Angkatan 45, kelompok sastrawan yang terkait dengan momentum kemerdekaan Indonesia dalam sastra. Sebab seperti kemerdekaan ia melansir pembaruan dengan mendobrak aturan-aturan kaku dan tabu-tabu politik yang meresap ke dalam sastra karena kebebasan berpikir yang dihalangi kekuasaan kolonial militer Jepang 

Pada karya Chairil Anwar terdapat ragam tema, suatu ciri yang khusus bagi suatu kepribadian yang sedang dalam pembentukan. Ia menunjukkan daya hidup penuh gairah. Melalui kepribaiannya dan puisinya, ia memberikan sumbangan terhadap pembentukan Indonesia baru serta menolong memberikan arah kepadanya. Di sisi lain ia mempertahankan cita-cita mulia tentang bahasa Indonesia dalam bentuk hubungan yang paling dalam, yaitu puisi. 

Chairil Anwar mengenyam pendidikan dasarnya pada masa Belanda di Neutrale HIS Medan. Setelah tamat, ia lanjut sekolah menengah MULO Medan tetapi hanya sampai kelas satu. Selanjutnya, ia pindah ke Jakarta dan masuk kembali ke MULO di Jakarta. Walaupun masih di sekolah menengah, ia sudah membaca buku-buku sekolah tingkat atas HBS. Namun, di MULO Jakarta ini pun ia hanya sampai kelas dua. Setelah itu, Chairil Anwar belajar secara autodidak. Dia dengan cepat menguasai bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sehingga dapat membaca dan mempelajari karya sastra dunia. 

Sebagai penyair Chairil Anwar hidup sepenuhnya mengandalkan uang hasil menulis sastra. Pengalaman menulis dimulai pada 1942, ketika ia mencipta sajak "Nisan". Pada awal 1948, ia bekerja menjadi redaktur majalah Gema Suasana, tetapi tidak bertahan lama. Setelah itu menjabat redaktur di majalah Siasat mengasuh ruang kebudayaan "Gelanggang" bersama dengan Ida Nasution, Asrul Sani dan Rivai Apin. Di sinilah, ia membuat ruang berpikir kebudayaan baru yang disebut “Gelanggang Seniman Merdeka”. Mereka mendeklarasikan sikap berkesenian dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan manifestasinya pada karya di lembaran budaya majalah Siasat itu yang disebut “Gelanggang”.

Orang tua Chairil berasal dari Payakumbuh. Ayahnya bernama Teoloes bin Haji Manan, pegawai zaman Belanda dan Bupati Rengat pada zaman Republik tahun 1948. Ibunya Saleha yang biasa dipanggil Mak Leha. Ketika dikawini oleh Toeloes, Mak Leha itu janda beranak satu. Setelah Mak Leha pergi ke Jakarta bersama Chairil, Toeloes kawin lagi tetapi tetap memegang janjinya membiayai sekolah anaknya. Namun, ia menyetop semua pembiayaan itu ketika Chairil berhenti sekolah. Pada 5 Januari 1949 ayah Chairil meninggal ditembak Belanda ketika Aksi Polisionil Belanda terjadi di Rengat. Tak selang lama, 28 April 1949, Chairil meninggal di Jakarta, setelah lima hari diopname di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) karena sakit paru-paru. 

chairil-anwar-0.png

“Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin”

Chairil kawin dengan Hapsah, seorang putri Haji Wiriaredjo pada 6 September 1946 di Kerawang. Dari perkawinannya, Chairil dikaruniai putri, Evawani Alissa. Sebelum itu, Chairil pernah jatuh cinta kepada Sumirat. Akan tetapi, orang tua Sumirat tidak menyetujui perkawinannya dengan Chairil yang bergaya hidup bohemian menyuruk keluar masuk kampung Jakarta mengajak bicara manusia-manusia urbannya. Ia dilihat sebagai penganggur yang belum matang.

Mengapa sebagai simbol pembaruan dan kemodernan, Chairil Anwar justru menampilkan diri dalam gaya hidup seorang bohemian yang lekat dengan jalan dan kampung serta ruang-ruang urban? Benarkah ia belum matang? Penyair sekaligus kritikus sastra Sapardi Djoko Damono pernah bilang, “Chairil dan cara hidupnya yang ‘jalang’ telah menjadi semacam mitos; kita suka lupa bahwa sajak-sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan dalam meskipun umurnya baru 26 tahun.” 

Sebut saja sajak terakhir, dekat kematiannya “Yang terampas dan yang putus”, di sini Chairil memberi isyarat: “Di Karet, di Karet (daerahku yang akan datang)”. Bagian ini, menurut Sapardi, bukan sekadar ihwal ramalam kematiannya sendiri yang diakrabi Chairil dan wasiatnya akan di kubur kelak, tetapi ia sebagai sosok yang sering disebut-sebut representasi modernisme dan kosmopolitanisme juga tengah mengajak melihat kampung, desa serta berada di antara orang-orang kecil di sana dengan segala nilainya itu sebagai “daerah yang akan datang” atau masa depan. 

Demikianlah, dari masa gagasan kemerdekaan digodog dan ide-ide besar dibicarakan tentang masa depan negara Indonesia serta bangsa modern, Chairil Anwar mengingatkan arti serta tempat kampung, desa. Pembaruan, kemodernan dapat diekplorasi bukan hanya dari antero dunia melainkan juga dari yang ada di sekitar, sehingga mendapat pengalaman otentik, kekhasan dan akhirnya kepribadian.

JJ Rizal, Sejarawan

Lihat Profil Tokoh Bangsa Lainnya