Fatmawati

(1923-1980)

Ibu Negara Pertama Perintis Kemerdekaan

Fatmawati

“Berulang kali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu,”

Fatmawati, ibu negara pertama dan penjahit bendera pusaka, dilahirkan 5 Februari 1923 di Bengkulu. Ia meninggal 14 Mei 1980 dan kemudian dimakamkan di Karet Bivak bersebelahan dengan ayahnya Hassan Din bekas pegawai perusahaan lima besar Belanda, Borsumy (Borneo-Sumatera Maatschappij) sekaligus sekretaris Muhammadiyah. Sebagaimana ayahnya, demikian pula ibunya Khadijah, aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. 

Jika ada yang menyatakan “dibalik laki-laki besar, selalu ada perempuan besar” maka tak salah lagi itulah Fatmawati. Ia ada dalam saat-saat penting pembentukan dan lahirnya Indonesia mendampingi Sukarno sebagai tokoh sentralnya. Sejarawan Aiko Korasawa mengungkapkan peran Fatmawati di masa pendudukan Jepang. Sukarno sedang menghadapi berbagai masalah politik yang ruwet. Gerakan Putera tidak berjalan baik dan diancam dibubarkan, kemerdekaan untuk Burma—sekarang Myanmar—dan Filipina diumumkan, tetapi Indonesia tidak diberi kesempatan. 

Sukarno sangat kecewa atas keputusan Jepang itu. Ia berhasil mengatasi kesulitan dan kekecewaan itu berkat kegembiraan dalam kehidupan pribadinya bersama Fatmawati. Salah satunya adalah pada bulan keenam setelah pernikahannya, Fatmawati membawa kabar hasil pemeriksaan dr Soeharto bahwa ia hamil. Sukarno bersemangat dan sering Fatmawati diajak pergi ke kantor Putera, Jawa Hokokai, ke rumah pelukis Ernest Dezentje, atau ikut hadiri rapat-rapat besar.

Kemudian tentu saja yang selalu diingat saat kandungannya sembilan bulan, ia didatangi seorang perwira Jepang yang membawa kain dua blok, satu berwarna merah dan lainnya berwarna putih. Mungkin dari kantor Jawa Hokokai. Fatmawati menjahit kedua kain ini menjadi bendera merah-putih dengan menggunakan mesin jahit tangan. Sebab ia tidak diperbolehkan menggunakan mesin jahit kaki saat hamil tua.

Selang enam bulan kemudian, pada 1 Juni 1945, Fatmawati mendampingi Sukarno ke Gedung Tjuo Sangi In di Pejambon. Ia masih ingat bagaimana Sukarno pada malam sebelumnya berkata kepadanya, “besok mas akan mengucapkan pidato yang sangat penting mengenai dasar-dasar negara jika merdeka kelak.” Itulah pidato lahirnya Pancasila. 

Fatmawati menjadi saksi selisih pandang tentang cara menyatakan proklamasi kemerdekaan antara kelompok Sukarno-Hatta dengan para pemuda dari kelompok Sjahrir maupun Tan Malaka. Ia menyaksikan perdebatan keras mereka dalam beberapa kesempatan. Bahkan ia ikut terlibat ketika sekelompok pemuda “menculik” Sukarno dan Hatta dengan dalih menyelamatkan dari amuk revolusi pemuda, seraya untuk memaksa mereka menyatakan kemerdekaan di Rengasdengklok. 

Dalam beberapa jam setelah kembali dari Rengasdengklok ditentukan bahwa proklamasi kemerdekaan justru akan dilaksanakan di halaman rumahnya di Jl. Pegangsaan. Suatu keputusan mendadak karena Lapangan IKADA yang disepakati semula untuk proklamasi telah dikepung oleh bala tentara Jepang. Tentu berisiko, tetapi Fatmawati ikut menyiapkan rumahnya dan bendera yang telah dijahitnya. “Bendera itu aku berikan pada salah seorang yang hadir di depan kamar tidurku. Nampak olehku di antara mereka adalah mas Diro (Sudiro ex. Walikota Jakarta), Suhud, Kolonel Latief Hendradiningrat. Segera kami menuju ke tempat upacara, paling depan Bung Karno disusul oleh Bung Hatta, kemudian aku,” kenang Fatmawati.

fatmawati-0.png

Dalam kilas balik Fatmawati telah berada, meminjam istilah Hatta, “di sekitar proklamasi”. Ia menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah penting lahirnya negara Indonesia. Ia mengikuti keadaan pasca proklamasi yang menegangkan. Ia harus mencari tempat-tempat perlindungan di tengah tembakan senapan yang santer terdengar silih berganti. Kalau sudah Maghrib berpisah dengan suaminya. Bung Karno jalan sendiri, sedangkan ia bersama ibunya pergi untuk menginap di tempat kenalan baik dengan pengawalan pistol dan golok. Mereka melalui lorong-lorong kampung dijaga warganya menuju tempat rahasia, di mana Bung Karno sudah menunggu atau menyusul. Kadang-kadang ia menyamar sebagai tukang pecel dan Bung Karno menyamar sebagai tukang sayur.

Situasi tersebut hanya awalan dari situasi menegangkan yang panjang dialami Fatmawati. Pada akhir 1945, keadaan yang semakin menegangkan mendorong Pemerintah Pusat dipindahkan ke Yogyakarta. Fatmawati menemani Sukarno bersama rombongan menuju rel kereta api di belakang rumah mereka melewati pagar kawat berduri menuju kereta api yang disebut “kereta api revolusi”. Kereta api ini bergerak malam hari menembus kawasan-kawasan konflik bersenjata. Sampai di Yogyakarta serangan tetap ada dari Belanda. Perundingan tidak menghentikan agresi militer Belanda. Kerap ia ikut mengungsi karena serangan bom, bahkan pada agresi yang kedua 1948, Sukarno dan Hatta ditawan dan dibuang ke Pulau Bangka. Fatmawati dan keluarga ditinggal di Yogyakarta sebagai tahanan kota tanpa pelayanan yang layak dan hidup di bawah macam-macam teror serta intimidasi.

Di akhir 1949, Sukarno-Hatta dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Serikat. Setelah itu, mengikuti pemerintahan yang kembali dari Yogyakarta ke Jakarta, maka Fatmawati dan keluarga ikut serta menempati Istana Merdeka. Di sini Fatmawati menjelma menjadi ibu negara yang terampil dalam menyiapkan resepsi kenegaraan. Ia luwes bergaul, seperti yang tergambar dalam hubungan dengan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Eleanor Roosevelt ibu negara Amerika, Nazimudin kepala negara Pakistan dengan perdana menterinya, Aga Khan, termasuk Presiden Quirino dari Filipina.

Tak selang lama Fatmawati melahirkan anak Sukarno yang kelima, Guruh, ia menghadapi tantangan berat. Sukarno meminta izin menikahi perempuan lain. Fatmawati memegang prinsipnya, ia menolak poligami. Ia memutuskan meninggalkan istana negara. Kepergiannya menimbulkan aksi besar perempuan terutama dari Persatuan Perempuan Republik Indonesia (Perwari), organisasi yang lahir pada akhir 1945 dan memainkan peran besar dalam revolusi kemerdekaan.  Perwari melihat Sukarno telah mengkhianati kata-katanya sendiri dalam Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia: “Kita tidak dapat menyusun negara dan tidak dapat menyusun masyarakat jika kita tidak mengerti soal wanita.” 

fatmawati-1.png

Fatmawati telah mewakili masalah perempuan seperti yang diungkap oleh Pringgodigdo dalam Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (1991), bahwa perkawinan merupakan salah satu masalah utama yang dialami perempuan Indonesia. Masalah kedudukan perempuan di dalam perkawinan dan keluarga seperti kawin paksa, poligami, perceraian, dan lain sebagainya menjadi faktor yang membuat mereka menderita dan mendorong lahirnya pergerakan perempuan Indonesia. 

Fatmawati telah memilih jalan yang berat dan tidak mudah, tetapi justru lantaran itulah ia tidak tenggelam di balik bayang-bayang sejarah besar Sukarno. Ia menjadi tetap menonjol menunjukkan kualitas dirinya karena mewakili persoalan besar atau dominan yang akhirnya dalam periode panjang Indonesia—bahkan dikatakan Julia Suryakusuma, seorang sosiolog politik—dalam 100 tahun ke depan tidak dapat diselesaikan Indonesia, yaitu “hegemoni patriarki”. 

Fatmawati dengan persoalannya bukan hanya menggambarkan persoalan poligami, tetapi akhirnya masalah hubungan seksualitas dan negara. Julia menyebutnya “Ibuisme Negara”, suatu kontruksi sosial dan mekanisme kontrol kekuasaan otoriter terhadap perempuan, rakyat yang terbesar, secara hierarkis dan patriarkis.

JJ Rizal, Sejarawan

Lihat Profil Tokoh Bangsa Lainnya