Firman Muntaco

(1935-1993)

Juru Bicara Utama Orang Kecil dan Kampung Jakarta

Firman Muntaco

 “Sejak kecil saya berdomisili di tepi jalan raya, jalan arteri, sehingga bolehlah saya disebut “anak gedongan”...

Firman Muntaco, putra Betawi ini mungkin lebih bertanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Betawi dan omong Jakarta sebagai bahasa pergaulan nasional dari siapa pun juga. Sebagai sastrawan, ia telah meletakkan dasar gaya penulisan cerita yang mengangkat tema-tema masyarakat Betawi-Jakarta dalam bahasa Betawi sehingga menjadi begitu populer lebih dari yang pernah dibayangkan oleh penulis cerita Betawi-Jakarta lainnya, seperti Aman Dt. Madjoindo (Si Dul Anak Betawi, 1936), M.Balfas (Lingkaran-Lingkaran Retak, 1952), S.M. Ardan (Terang Bulan Terang di Kali, 1955), dan Pramudya A. Toer (Cerita dari Jakarta, 1957). 

Begitu cepatnya ia memperkenalkan dan menyebarkan kehidupan serta bahasa orang Betawi-Jakarta ke seluruh Indonesia melalui cerita-ceritanya itu, sehingga dia mesti diakui sebagai salah seorang yang paling berpengaruh dalam perkembangan warna lokal dalam sastra Indonesia. Sebab itu pula pengamat sastra A. Teeuw dalam Modern Indonesian Literature menyatakan bahwa Firman adalah penulis yang sangat pantas dicatat berkat penggunaan omong Jakarta asli.

Firman lahir di Cideng, Jakarta Barat, pada 5 Mei 1935. Ibunya, Siti Satina, orang Betawi kelahiran Gg. Kingkit, Pecenongan yang berbakat seni Lukis dan musik. Ayahnya Haji Muntaco, orang Betawi kelahiran Cideng 1909, pegawai perusahaan susu Mateson, tuan tanah Belanda di Petamburan, Jakarta Barat, yang kemudian karena kesetiaan Haji Muntaco diberi kepercayaan mengambil alih dengan cara bayar cicil perusahaan itu dan semua asetnya.

Firman anak pertama dari lima bersaudara. Ia menempuh sekolah dasar sistem dua tahun HIS di Jalan Jaga Monyet. Setelah Jepang masuk pada 1942, ia pindah ke Sekolah Rakyat PUSO di Jalan Thomas yang diselesaikannya dalam enam tahun. Selain itu saban sore diikutinya pula mengaji agama Islam pada Guru Zakaria di Tanah Abang.

Haji Muntaco di tahun 30-an adalah anggota dari Perkumpulan Budi Dharma, salah satu perkumpulan menolong kaum miskin. Sukarno pada masa Jepang mengunjungi Haji Muntaco. Beberapa saat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dan sekutu mulai mendarat membonceng Belanda, Haji Muntaco menjadikan bagian depan rumahnya yang luas sebagai markas Barisan Pelopor dan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) yang dipimpinnya bersama jago Achmad Dera. Di tempat itu sering diadakan pertemuan para tokoh pejuang dan rapat rahasia untuk mengatur siasat revolusi pasca kemerdekaan.

Bagi Firman kecil pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam dan kelak dikenangkannya sebagai momentum kerakyatan yang memicu dalam jiwanya tumbuh paham nasionalisme Sukarno. Wajar jika banyak yang menganggap salah satu segi paling menarik dari Firman adalah sifat kerakyatannya. Kecintaan pada rakyat kecil yang tercermin dalam setiap ceritanya.

Walaupun hidup sebagai “anak gedongan”, ia bergaul akrab dengan pekerja di lingkungan peternakan sapi orang tuanya yang kebanyakan adalah orang-orang Betawi pinggir, seperti Tambun, Bekasi. Ia juga kerap keluyuran menemui kalangan bawah Betawi-Jakarta di sekitar Petamburan, Slipi dan Tanah Abang. Perasaan dan pikiran yang dekat dengan orang kecil itu mulai diekspresikan Firman sejak umur 15 tahun ketika ia duduk sebagai siswa SMPN 4 di jalan Perwira dekat Gambir. Ia menuliskan pengalaman yang didapatnya dari kluyuran ke kampung-kampung dalam bentuk cerpen dan mencoba-coba mengirimkannya ke media. Ketika memasuki SMA kegemaran kluyuran dan menulis cerpen bertambah sehingga membuat sekolahnya di SMA terbengkalai. Pada pertengahan 1950, Firman berhenti sekolah. Tapi, beberapa cerita pendeknya mulai lancar hadir di majalah Aneka, Kontjo, Star Weekly, Minggu Pagi, Pantjawarna, dan Roman.

…,tetapi saya sangat mencintai kehidupan masyarakat sederhana di sekitarnya, yakni masyarakat perkampungan”

firman-muntaco-0.png

Meskipun cerpennya telah menembus berbagai media nasional, tetapi Firman tidak cukup puas. Ia merasa belum sampai pada kewajaran masyarakat yang ingin diceritakan. Terutama penuturannya yang dalam bahasa Indonesia. Pada 1956, ia pun mulai memperkenalkan diri sebagai penulis kehidupan masyarakat Betawi berbahasa Betawi melalui rubrik “Tjermin Djakarta” yang diisinya rutin saban minggu di koran Berita Minggu. Satya Graha, ketua dewan redaksi Berita Minggu yang menemukan Firman. Ia mengarahkan kemampuan Firman bukan saja dalam jurnalistik dengan menerimanya bergabung di Berita Minggu. Bahkan menyediakan baginya rubrik tetap bagi cerpen Betawi-nya.

Penggemar cerita-ceritanya berpuluh ribu orang dan tersebar hampir di seluruh Indonesia. Menurut sastrawan SM Ardan orang berebutan membeli koran Berita Minggu, hanya untuk membaca rubrik “Tjermin Djakarta” yang kemudian diubah menjadi “Gambang Djakarte” itu. Tidak aneh jika banyak yang menghubungkan Berita Minggu yang berhenti terbit sejak 1965, pernah mencapai tiras 250.000 eks adalah berkat cerita-cerita Firman.

Pada 1960, Suluh Indonesia menerbitkan seleksi 24 cerpen Betawi karya Firman dengan titel Gambang Djakarte. Firman menganggap buku itu dengan oplah sampai puluhan ribu adalah bentuk pengakuan atas karyanya yang penting dari publik. Sekaligus hadiah perkawinannya dengan Farida Goenawan 10 Mei 1960. Seiring kelahiran anak-anaknya karir Firman sebagai penulis sketsa Betawi semakin gemilang. Pada 1963, kembali diterbitkan Gambang Djakarte jilid yang kedua yang berisi 22 cerita dengan penerbit Pantjaka. 

Menanggapi dua jilid Gambang Djakarte (1960 dan 1963) itu, pengamat sastra Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa cerita-cerita Firman yang tergabung dalam buku tersebut adalah sebuah ruang yang menampilkan rakyat kecil Betawi-Jakarta dalam kehidupan sehari-hari. “Tokohnya benar-benar orang kecil, yang perasaan, pikiran, sikap dan kecenderungannya bukan priyayi,” ungkap Sapardi.

Masih ditambahkan lagi oleh Sapardi bahwa banyak penulis yang menjadikan orang kecil pusat cerita. Mereka sering dikaitkan dengan kesusahan, penindasan, ketidakadilan, dan sebangsanya. Firman juga melakukan hal yang sama. Cerita-ceritanya tidaklah menampilkan tokoh-tokoh yang terbebas dari kesulitan hidup. Tokoh-tokohnya adalah orang-orang kecil yang terbelit kehidupan yang sulit, seperti orang kecil manapun, namun boleh dikatakan keseluruhan ceritanya menumbuhkan suasana humor. Orang kecil dan humor adalah keunggulan Firman. Ia adalah maestro genre yang paling sulit dalam sastra, yakni humor. 

Setelah G30S 1965 meletus dan Presiden Sukarno dijatuhkan, Berita Minggu ditutup karena dianggap dekat dengan politik pemimpon besar revolusi itu. Firman sempat diinterogasi intel Orde Baru oleh karena banyak ceritanya yang dinilai mendukung politik Sukarno. Tetapi, ia beruntung tidak dijebloskan ke penjara Orde Baru sebagaimana banyak dialami para simpatisan Sukarno.

Pada tahun 1970, Firman bergabung dalam koran Pelita dan Warta Harian. Selain di dua koran itu, Firman pun kembali mengumumkan sketsa-sketsa Betawi-nya di koran Pos Kota, Berita Buana, Suara Pembaruan, Mutiara dan majalah seperti Vista, Jakarta-Jakarta, dan Humor. Ia tetap mendapat sambutan pembaca dan terus menulis bahkan ketika terkena seragan stroke yang mengakibatkan tangan kanannya lumpuh pada 1990. Ia mendiktekan ceritanya sementara Fence, anaknya menolong mengetik. Setelah agak pulih, Firman mengetik sendiri dengan tangan kirinya. 

Awal 1993, Firman kembali dilarikan ke rumah sakit. Minggu siang, 10 Januari 1993, jam 11.00 di RS Harapan Bunda Jakarta, Firman meninggal setelah empat hari sebelumnya terkena stroke. Firman dimakamkan di pekuburan Karet Bivak sesuai pesan kepada putrinya, Fifi, yang diucapkan setiap lewat pekuburan rakyat itu, “Nanti papa bakal ke sana, kumpul bareng dengan emak bapak, Haji Muntaco dan Satinah.”

JJ Rizal, Sejarawan

Lihat Profil Tokoh Bangsa Lainnya