Ismail Marzuki

(1914-1958)

Komponis Besar Revolusi Indonesia

Ismail Marzuki

“…Telah gugur pahlawanku Tunai sudah janji bakti Gugur satu tumbuh seribu
Tanah air jaya sakti…”

- Penggalan lirik ‘Gugur Bunga’ karya Ismail Marzuki

Tak pelak lagi Ismail Marzuki adalah pencipta dan penulis lagu yang karyanya bersejarah bagi Indonesia. Ia seorang yang produktif dan berhasil menciptakan lagu-lagu yang masih dinyanyikan hingga saat ini. Bahkan ada yang bilang pada 1950-an, Sukarno pernah mengusulkan untuk mengganti lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki. 

Sejarawan Hans van Miert mengungkapkan bahwa sejak pertama kali mendengar lagu Indonesia Raya pada 1928, Sukarno merasa memang kurang pas. Terlalu bernada Barat. Meskipun pada 1930 akhirnya Sukarno mengalah dan menerima ketika partainya sendiri, Partai Nasional Indonesia (PNI), menerima lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan, tetapi dia rupanya belum benar-benar ikhlas. 

Usul mengangkat lagu Indonesia Pusaka sebagai lagu kebangsaan tidak kesampaian. Tetapi, pada 1960 bertepatan peringatan hari kemerdekaan, Sukarno memberikan piagam penghargaan kepada Ismail Marzuki yang dua tahun sebelumnya meninggal, 25 Mei 1958. Ismail Marzuki meninggal di pangkuan isterinya Eulis Zuraidah karena gangguan paru-paru yang mulai akut sejak 1956. Saat itu Sukarno menyatakan Ismail Marzuki adalah seniman yang tidak terpisahkan dari pergerakan nasional dan perannya semakin kentara pada masa revolusi.
 
Biografi Ismail Marzuki memang mencerminkan pernyataan Sukarno itu. Ia lahir pada 11 Mei 1914 dari keluarga Betawi di Kwitang. Pada 1931, saat usianya 17 tahun, ia bukan saja telah memperlihatkan bakat musik, dalam arti pencipta lagu, penyanyi dan pemain alat musik, tetapi juga ideologi kerakyatannya melalui lagu Oh Sarinah yang diciptakan pada 1931. Meskipun berbahasa Belanda Oh Sarinah jelas mencerminkan ide zamannya yang dipenuhi semangat pembelaan terhadap rakyat kecil yang diperlambangkan oleh Mas Marco Kartodikromo sebagai Kromo, oleh Sukarno sebagai Marhaen dan oleh Tan Malaka sebagai Murba. Ismail Marzuki memilih perlambang rakyat kecil perempuan dan otomatis ia telah menyeimbangkan dominasi rakyat kecil laki-laki sebagaimana diperlihatkan Mas Marco, Sukarno dan Tan Malaka.

Musik dan semangat kebangsaan adalah hal yang tidak terpisahkan dalam biografi Ismail Marzuki. Kesukaan pada musik mengalir dari ayahnya, Marzuki Saeran yang suka bermain musik dan mendengarkan kroncong, gambus dll dari gramophone. Sedangkan pergaulannya sebagai anak kampung Kwitang, dekat kawasan kelas bawah dan pemuda pergerakan nasionalis, memberinya semangat kebangsaan. Apalagi di sekolah Ismail Marzuki ikut kepanduan yang pada masa itu terkenal menanamkan perasaan cinta tanah air. Di sini akar-akar semangat kebangsaannya tumbuh bersama dengan mulainya ia menguasai beragam alat musik. Dunia musik pun mendekat.

Ismail Marzuki memasuki perkumpulan kroncong Lief Java pimpinan Hugo Dumas yang tersohor. Di sini ia belajar lebih banyak alat musik, menyanyi dan mulai menulis lagu. Keroncong yang begitu populer membawa ia tampil menyanyi di panggung paling mutakhir yang dengan cepat membuatnya ternama, yaitu kantor radio Belanda NIROM. Pendengar NIROM meminta ia menyanyikan lagu-lagu ciptannya sendiri. Ketika lagu Hawaian populer ia bersama Lief Java membentuk kelompok musik The Sweet Java Islander. Tetapi, saat itu juga ia memasuki Perkumpulan Kaum Betawi yang melibatkan diri dalam peristiwa Kerapatan Pemuda 1928, kemudian sohor sebagai Sumpah Pemuda.

Pada zaman Jepang, ketika seniman banyak diberi tempat oleh kekuasan, Ismail Marzuki diangkat sebagai pemimpin Orkes Indonesia Hosokyoku Djakarta yang digunakannya sebagai kesempatan untuk menciptakan lagu-lagu cinta tanah air, salahsatunya Rayuan Pulau Kelapa. Menyusul proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945, Ismail Marzuki terlibat dalam arus revolusi kemerdekaan. Keterlibatannya dalam kerja-kerja di radio NIROM juga Djakarta Hooso Kyoku milik tentara Jepang yang dijalaninya berbarengan dengan bekerja di radio VORO milik kaum pergerakan membuatnya mampu melihat kekuatan media baru sebagai alat perjuangan. 

Ismail Marzuki saat itu segera menggabungkan diri dengan Radio Republik Indonesia (RRI) yang dibangun pada 11 September 1945 dari hasil perampasan peralatan radio Jepang dan mengemban tugas sebagai radio perjuangan.

Di RRI itulah pertama kali teks proklamasi disiarkan oleh Jusuf Ronodipuro, sosok yang juga mendorong Ismail Marzuki tampil menyiarkan lagu-lagu perjuangan karyanya. Bersama grup musik Empat Sekawan yang dibentuknya, Ismail Marzuki mengisi acara musik untuk programa Hiburan Pahlawan, Hiburan Untuk Tentara Angkatan Laut dan Udara RI, dll. Selain mengisi programa udara, Ismail Marzuki juga membawa grup musiknya turun ke front-front yang bukan sekadar untuk menghibur para pejuang, tetapi mencari ilham dari revolusi.

Ikatan jiwanya begitu kuat dengan kaum Republik dan inilah yang membuat Ismail Marzuki menolak tawaran gaji besar dan fasilitas Belanda ketika RRI diambil alih mereka pada November 1946. Ia lebih memilih membantu isterinya, Eulis, berjualan gado-gado, laksa, asinan dan mi goreng sambil serabutan mengajar bahasa Belanda dan Inggris.

Dalam kilas balik, pada masa revolusi kemerdekaan Ismail Marzuki berada di “front terdepan” terkait musik dan revolusi, seperti Chairil Anwar dalam puisi dan Sudjojono dalam seni lukis. Ia terlibat dalam organisasi-organisasi perjuangan serta kelompok musik dengan berbagai alirannya yang membuka jalan Ismail Marzuki sebagai pemusik pejuang semakin matang. Kematangan jiwa inilah yang kemudian membawa Ismail Marzuki mampu melihat revolusi 1945 sebagai medan inspirasi dan puncak kreasinya untuk bangsa.

Pada 2004, Ismail diberi gelar Pahlawan Nasional. Ada 202 lagu diciptakan Ismail Marzuki sampai ia meninggal di kediamannya di Kampung Bali, Tanah Abang, dalam usia 44 tahun. Revolusi telah menjadi medan kreatif yang membuat Ismail Marzuki mecipta seperti tanggul jebol. Inilah masa-masa puncak penciptaannya. Karya-karyanya mengalir deras dan mayoritas memperoleh sukses, bahkan menjadi klasik hingga ke masa depan.

Lagu-lagu Ismail Marzuki adalah artefak sejarah tentang bakat minat yang tuntas mendalam dilakoni untuk merayakan kecintaan kepada tanah air, semangat kebangsaan dan orang kecil serta bahaya yang mengancam keduanya juga kerinduannya kepada kepahlawanan.

JJ Rizal, Sejarawan

“…Indonesia Ibu Pertiwi Kau ku puja kau ku kasihi Tenagaku bahkan pun jiwaku Kepadamu rela kuberi”

- Penggalan lirik ‘Indonesia Pusaka’ karya Ismail Marzuki

Lihat Profil Tokoh Bangsa Lainnya