Iswadi Idris
(1948-2008)
Si Kecil Legenda Besar Sepak Bola Indonesia

“Sepakbola hobi yang berharga. Dulu kami bermain ingin terkenal, juga demi pengabdian kepada bangsa…”
-Iswadi Idris
Tak pelak lagi Ismail Marzuki adalah pencipta dan penulis lagu yang karyanya bersejarah bagi Indonesia. Ia seorang yang produktif dan berhasil menciptakan lagu-lagu yang masih dinyanyikan hingga saat ini. Bahkan ada yang bilang pada 1950-an, Sukarno pernah mengusulkan untuk mengganti lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki. Bagaimana cara mengenali kebesaran Iswadi Idris? Gampang, dengar saja lagu penyanyi tersohor Iwan Fals yang berjudul Mereka Ada di Jalan (1992):
Roni kecil, Heri kecil, gaya samba sodorkan bola.
Nobon kecil, Juki kecil, jegal lawan amankan gawang.
Cipto kecil, Iswadi kecil, tak tik tik tak terinjak paku.
Yudo kecil, Paslah kecil, terkam bola jatuh menangis.
Iwan sedang menggambarkan sosok-sosok legenda pesepak bola tanah air. Ia sebut satu persatu legenda sepakbola kekagumannya sebagaimana juga menjadi kekaguman banyak orang Indonesia. Iswadi, di antara para legenda sepak bola tanah air itu, adalah pemain tengah yang disegani kawan dan ditakuti lawan di lapangan hijau era emas sepak bola Indonesia 1960–1970-an. Era 1960–1970 memang banyak mencetak pemain sepakbola Indonesia yang terkenal di Asia dan Iswadi salah satunya. Empat pemain Indonesia dipanggil AFC untuk menjadi bagian tim Asia All Stars pada 1967–1968. Mereka adalah Soetjipto Soentoro penyerang bayangan sekaligus kapten, Jacob Sihasale penyerang tengah, Kadir gelandang kiri, dan Iswadi gelandang kanan. Keempat pemain ini juga andalan bagi Tim Nasional Sepakbola Indonesia.
Perawakan Iswadi tidak tinggi. Ia setinggi 165 cm. Tinggi yang tidak ideal untuk pemain sepak bola. Bahkan terbilang pendek untuk pemain yang berposisi gelandang. Karena perawakan yang kecil itu dalam buku Ulang Tahun ke-60 Persija (1988) ia dijuluki “Si Boncel”. Namun jangan tanya soal kepiawaiannya dalam mengolah si kulit bundar. Apa bila bola sudah jatuh di kakinya maka pemain belakang lawan tidak akan mudah merebut dan menghalaunya, malah akan tertipu tersungkur terkena “gocekan” dan kecepatan berlarinya.
Iswadi adalah pemain gelandang kanan, akan tetapi pernah juga menempati posisi bek kanan. Ia piawai disejumlah posisi lainnya, mulai dari bek kanan hingga sweeper. Ia pelopor pemain serba bisa yang andal berganti-ganti posisi. Koran nasional terbesar Kompas pernah memuat berita “Cerita Tentang 2 Matahari” pada 22 Februari 1977 yang menyebut Iswadi sebagai pemain terbaik Indonesia pada masa itu. Bahkan gelandang serang yang disegani lawan-lawannya di Asia.
Tabrin Tahar dalam Sebuah Catatan dari Sepakbola Indonesia (1993) mengatakan pada zaman keemasan sepak bola Indonesia, Iswadi termasuk empat penyerang Tim Nasional Indonesia yang kecepatan berlarinya di atas rata-rata, sehingga dijuluki “Kuartet Tercepat di Asia”. Iswadi juga terkenal sebagai pemain dengan visi luas, disiplin, keras, dan berkarakter, baik di dalam maupun luar lapangan.
Iswadi yang akrab disapa Bang Is lahir di Banda Aceh, 18 Maret 1948. Ayahnya, Idris, dari Jawa yang mengawini perempuan Aceh, Siti Hawa, dan tinggal di sana. Namun di kota ini, ia tidak tinggal lama. Pada 1952, mereka pindah ke Jakarta. Bersama keluarga besarnya Iswadi tinggal di Kramat, Jakarta Pusat dan tumbuh besar menjadi Anak Jakarta. Kegemarannya bermain sepak bola sejak kecil berkat bimbingan ayahnya yang juga seorang pemain sepak bola PERSIS (Persatuan Sepakbola Indonesia Solo). Sedangkan ibunya Siti Hawa adalah seorang atlet atletik, maka tidak heran dukungan keluarga kepada Iswadi kecil untuk menggeluti sepak bola sangat besar.
Pada usia sembilan tahun Iswadi dimasukkan sekolah sepak bola MBFA (Merdeka Boys Football Association) di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Di MBFA, Iswadi hanya empat tahun karena pindah ke sekolah sepak bola yang lebih profesional dan dianggap dapat mengangkat karir prosesionalnya di kemudian hari, yaitu IM (Indonesia Muda) Jakarta. Selepas remaja Iswadi menikahi Rachma Astoeti dan dikarunia tiga orang anak—Kusuma Ayu Kinanti, Tubagus Danny Putranto, dan Adinda Snitaningrum Kinasih.
Di lapangan hijau Iswadi menyandang nomor punggung 13. Orang merasa aneh karena dianggap angka tabu, namun tidak bagi Iswadi. Ia mengubah persepsi nomor punggung 13 menjadi nomor legenda di Persija. Sosok garang di lapangan hijau. Pemain andalan Persija dengan ban kapten di tangannya. Terbukti Persija kemudian sembilan tahun menjuarai perserikatan sejak 1966.
Iswadi memperkuat Persija sepanjang 1966 sampai 1980. Pengabdian panjang dengan andil besar mengantar Persija meraih banyak kesuksesan di kompetisi Perserikatan PSSI. Permainannya yang memikat membuat Tim Nasional Indonesia mengajak ikut dalam beberapa kejuaraan tingkat Asia maupun Internasional. Debut pertama Iswandi bersama Tim Nasional Indonesia pada Piala Raja 1968 di Thailand. Ia mencetak dua gol pada saat Tim Nasional Indonesia menang 7-1 atas tim nasional Singapura. Setahun kemudian di kejuaraan Piala Merdeka di Malaysia, Tim Nasional Indonesia kembali juara mengalahkan Malaysia di final dengan skor 3-2. Satu gol yang disumbangkan Iswadi mendekati akhir pertandingan sangat menentukan kemenangan Indonesia atas Malaysia.
Ia didapuk dua kali menjadi Kapten Tim Nasional yaitu pada periode 1970 hingga 1971 dan 1974 hingga 1980. Berkat bantuan teman-teman satu tim, Iswadi bukan hanya berhasil memimpin Tim Nasional Indonesia meraih medali perak SEA Games 1979, ia pun menjelma sebagai pesepakbola yang dihormati baik di negeri sendiri maupun di Asia. Ini berdampak pula pada Tim Nasional Indonesia yang sempat disegani di tingkat Asia. Julukan “Macan Asia” sempat disematkan pada Tim Nasional Indonesia di era 1970-an. Saat itu Tim Nasional Indonesia biasa melawan tim-tim besar, mulai dari PSV Eindhoven, Fiorentina, Uruguay, hingga Jerman. Bahkan Tim Nasional Indonesia pernah hampir dibawa Iswadi dan kawan-kawan berlaga di Olimpiade Montreal, namun dalam pra-olimpiade (1976), timnas tersingkir kalah dalam adu penalti.
Iswadi memutuskan pensiun pada 1981. Ia kemudian melatih PS. Perkesa Mataram dan Mataram Muda yang ikut dalam Galatama (Liga Sepak Bola Utama) dan berhasil mendongkrak posisi dari papan bawah ke papan tengah liga. Karir kepelatihan Iswadi naik. Ia pun melatih Tim Nasional Indonesia mulai 1983 sampai 1984, bersama Abdul Kadir dan M. Basri. Trio pelatih yang diorientasikan untuk kejuaraan sepak bola penyisihan Piala Dunia 1990 ini dianggap kurang berhasil, karena banyak pemain yang kebingungan dengan komando tiga pelatih.
Pada 1994, Iswadi diangkat sebagai pengurus PSSI. Di akhir hidupnya Iswadi berdomisili di Jakarta. Iswadi “Si Boncel” legenda sepak bola Indonesia menghembuskan nafasnya yang terakhir pada Jumat, 11 Juli 2008 dalam usia 60 tahun setelah mengalami pendarahan di otak akibat stroke, ia dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta, dalam satu liang lahat bersama ayah dan ibunya.
JJ Rizal, Sejarawan
“Di final lawan Jepang, kami seperti membawa nama Indonesia. Penonton memberi dukungan penuh dan kami menang 1-0. Itu pengalaman yang menyenangkan, sekaligus sangat memuaskan. Kami bisa menunjukkan sebagai pemain yang disiplin, meski dihantam isu suap,”
-Iswadi Idris