Kusumah Atmaja

(1898-1952)

Bapak Dunia Hukum Dan Peradilan Indonesia

Kusumah Atmaja

“Independensi institusi kehakiman wajib terjaga dan tidak bisa diintervensi siapapun”

-Kusumah Atmaja

Prof. Dr. Mr. Kusumah Atmaja SH atau lengkapnya Prof. Dr. Mr. Sulaiman Effendi Kusumah Atmaja SH yang biasa disapa dengan nama panggilan Pandi meskipun kurang dikenal, tetapi dialah orang yang paling layak disebut sebagai “Bapak dunia hukum dan peradilan Indonesia”.

Dalam dunia hukum dan peradilan yang penuh godaan, Kusumah Atmaja menjadi sumber keteladanan tentang komitmen supremasi hukum dan keadilan. Sekitar setahun setelah Indonesia merdeka, Presiden Sukarno mendekati Kusumah Atmadja untuk suatu perkara hukum. Secara halus, ia meminta Koesoemah Atmadja bertindak “lunak” kepada para terdakwa yang adalah para tokoh kemerdekaan, seperti Mayjen Soedarsono, Mohammad Yamin, Iwa Kusuma Sumantri, Achmad Soebardjo, Budiarto Martoatmojo, Buntaran Martoatmojo, R. Muhammad Saleh, dan sejumlah tokoh lain.

Kusumah Atmaja menolak mentah-mentah. Sonder gentar ia berbalik mengancam mundur dari jabatannya jika Presiden Sukarno mencampuri kasus tersebut. Kasus yang sedang diadili adalah upaya menggulingkan pemerintahan Kabinet Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri yang dimotori oleh petinggi militer Mayor Jenderal Soedarsono. Pelaksana penggulingan ini adalah Mayjen Soedarsono yang saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi III di Yogyakarta. Cara yang ditempuhnya menculik Sjahrir di Surakarta pada 26 Juni 1946. Sjahrir mereka tahan di Boyolali.

Penculikan ini berakhir dengan ditangkapnya Mayjen Soedarsono dan 14 orang pimpinan sipil tersebut. Para pelaku kemudian diajukan ke Mahkamah Tentara Agung yang diketuai Kusumah Atmadja. Bahkan nama Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat pula disebut-sebut dalam perkara ini kendati nantinya ia selamat dari tudingan.

Saat itu, Kusumah Atmadja adalah hakim yang paling berwenang menangani perkara hukum itu sekaligus Ketua Mahkamah Agung (MA) pertama dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia yang belum genap setahun merdeka. Kusumah Atmaja merasa masa ini adalah suatu periode penting yang harus menjadi tonggak keseriusan cita-cita menjadi rechstaat (negara hukum) bukan machstaat (negara kekuasaan). Ujung tombak dari cita-cita ini, baginya, adalah independensi institusi kehakiman yang wajib terjaga dan tidak boleh diintervensi, bahkan oleh presiden sekalipun.

Sukarno insyaf dan dapat menerima hasil sidang yang menghukum para sahabatnya tokoh pejuang kemerdekaan. Presiden sendiri yang akhirnya melunak dan membiarkan pengadilan bekerja secara independen. Sebagaimana halnya Kusumah Atmaja, demikian pula Sukarno sebagai presiden menyadari republik yang baru seumur jagung ini membutuhkan teladan, terutama para penegak hukum agar masa depan dunia hukum dan peradilan di Indonesia mampu mengemban amanah konstitusi sebagai negara hukum.

Negara hukum, recht staat itu adalah kata-kata yang lama hidup dalam sanubari Kusumah Atmaja. Kata-kata ini menubuh dalam dirinya paling tidak ketika sebagai pejabat hukum melihat nasib orang-orang pribumi yang tidak mendapat keadilan dalam sistem hukum kolonial Belanda. Hukum yang diskriminatif dan melihat kaum pribumi sebagai kelas tiga. Bahkan ia merasakan sendiri hukum yang menempatkan superioritas orang Eropa itu telah membentuk masyarakat yang sakit dan rusak, sehingga jangankan rakyat kecil bahkan ia pun sebagai pejabat pengadilan disebut seorang residen sebagai inlander, sebutan penghinaan dan merendahkan untuk pribumi. Ia merasakan hal ini manakala menjadi hakim pada 1931 di Pengadilan Tinggi Kota Padang, Sumatera Barat.

Menegakkan cita-cita recht staat itulah yang terpatri di sanubari Kusumah Atmaja sejak ia memasuki Rechtschool atau Sekolah Hukum di Kota Batavia yang didirikan pada 1909 atas inisiatif Ahmad Jayadiningrat, Bupati Serang. Tujuan sekolah ini untuk memprodukasi ahli-ahli hukum bumi putera. Sebagai anak yang moncer otaknya dan keluarga menak atau bangsawan Sunda di Purwakarta, Kusuma Atmaja dengan mudah masuk sekolah prestisius itu setelah selesai ELS (Europeesche Lagere School) pada 1909. Ia yang lahir pada 8 September 1898 adalah anak ketiga dari 13 putera Raden Sutadilaga, seorang Wedana Rengasdengklok.

Selepas menamatkan Rechtschool pada 1919, ia diangkat sebagai pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan di Bogor. Selang setahun kemudian ia diangkat menjadi pejabat Pengadilan Bogor. Lantas ia beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda. Pilihannya jurusan Hukum Adat. Pada 1922, Kusumah Atmaja menyelesaikan studinya dan meraih gelar Doctor in De Recht Geleerheid  dengan disertasi De Mohamedaansche Vrome Stichtingen in Indie. Promotornya Prof. C. van Vollenhoven, ahli hukum adat Indonesia yang ditahbiskan sebagai bapak ilmu hukum adat Indonesia.

Kusuma Atmaja kembali ke Hindia Belanda lantas menjadi hakim di Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) Batavia. Selang setahun, diangkat sebagai Voor Zitter Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat sekitar 1924 sampai 1927. Di sinilah ia terpikat gadis Priangan, Raden Ajeng Nawangsih dan mereka menikah pada 1924 di Indramayu. Menyusul tiga tahun kemudian, pada 1931, ia menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Kota Padang, Sumatera Barat. Selepas dinas di Kota Padang Kusumah Atmaja berdinas di Pengadilan Tinggi Kota Semarang dan pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Kota Semarang.

Ketika kekuasaan Jepang dimulai, Kusumah Atmaja menjabat ketua Tihoo Hooin di Semarang. Selain itu ia juga pernah menjabat Hakim Pengadilan Tinggi Padang, Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, serta Pemimpin Kehakiman Jawa Tengah pada 1944. Menjelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang merupakan landasan bagi terbentuknya sistem hukum dasar negara Indonesia, Kusumah Atmaja melihat kesempatan untuk mengganti seluruh sistem hukum kolonial dengan sistem hukum nasional. Hal ini dimungkinkan karena ia termasuk anggota institusi prestisius Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekan (BPUPK).

Menindak lanjuti amanat UUD 1945 yang disusun Kusumah Atmaja bersama 62 anggota BPUPK dan disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945, maka ia ditugasi membentuk Mahkamah Agung Republik Indonesia sesuai amanat pasal 24 sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Kusumah Atmaja pun diserahi tugas memimpin lembaga yudikatif pertama yang anggotanya Satochid Kartanegara dan Gondokusumo dengan tugas pertamanya melantik Sukarno-Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan pada 1949 di Den Haag, ia menjadi penasihat bidang hukum delegasi Indonesia agar kesepakatan yang dicapai tidak merugikan. SetelahKMB, pada 1950 Mahkamah Agung dikembalikan kedudukannya di Jakarta. Pada saat pemindahan Mahkamah Agung ini Kusumah Atmaja dilantik sebagai Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pertama.

Kepemimpinan Kusumah Atmaja di Mahkamah Agung berakhir 1952, bersamaan dengan meninggalnya. Ia dikuburkan di pekuburan rakyat Karet Bivak, Jakarta. Atas jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara, Koesoemah Atmaja diberi gelar Pahlawan Nasional berdasar SK Presiden RI No 124/1965 pada 1965 oleh Sukarno.

JJ Rizal, Sejarawan

Lihat Profil Tokoh Bangsa Lainnya