MH. Thamrin

(1894-1941)

Macan Pergerakan Kemerdekaan

MH. Thamrin

“Saya mita izin kepada sidang ini untuk menceritakan apa yang diharapkan oleh ibu saya almarhumah yang sederhana. Ia mengharapkan saya menjadi orang pandai agar dapat memikirkan kehidupan bersama di sekeliling saya,”

-MH. Thamrin

Jarang kematian seseorang begitu menggetarkan puluhan ribu orang berminggu-minggu. MH Thamrin adalah salah satunya. Paling tidak 30.000 orang mengalir khidmat mengantarnya ke pekuburan Karet pada 11 Januari 1941. Sukarno turun tangan merancang makamnya dengan batu-batu besar seberat dua ton yang dipilihnya dan dibawa dari sebuah sungai di Bogor.

Sukarno menyebut alasannya, “batu asli itu lambang kekuatan alam, tak lekang oleh panas tak lapuk karena hujan, demikian semangat Thamrin membela kebenaran, harus tahan tak lenyap ditelan zaman.” Ini adalah pernyataan yang dengan cepat dapat menyimpulkan Thamrin adalah splendor varitatis, orang yang mampu memberikan sumbangan yang relevan dalam pergulatan hidup sekian juta manusia yang mendambakan gemerlap cahaya kebenaran.

Pernyataan itu juga pemgakuan bahwa keliru jika menganggap bahwa perjuangan politik di dalam sistem seperti yang dijalankan Thamrin tidak ampuh dan tidak terhormat ketimbang mereka yang berpolitik di luar sistem. Di luar dan di dalam sistem sama ampuh dan terhormat selama mengabdi kepada kebenaran.

Thamrin memang tidak menggedor, menjebol lewat rapat akbar dan massa aksi. Sebagai anak yang lahir di pusat kota kolonial Batavia, ia pilih bergerak dari dalam sistem demokrasi formal yang tumbuh di kota-kota modern Hindia awal abad ke-20 sebagai efek politik etis dan desentralisasi. Karir politik pergerakannya dimulai dari masalah-masalah perkotaan dan kewargaan di Gementeraaden. Lantas meluas ketika di Volksraad. Pernyataan Gubernur Jenderal BC de Jonge (1931-1936) yang sohor otoriter dan antikritik menjadi bukti keampuhan berjuang di dalam sistem Thamrin itu: “gerakan pribumi menjadi jauh lebih pintar dan benar-benar menggunakan otak.” 

Thamrin membawa ke dalam sistem perwakilan tuntutan-tuntutan yang sebenarnya agenda politik gerakan radikal. Akibatnya sukar ditekuk. Ia memang tidak merumuskan ideologi gerakan kerakyatannya sebagaimana Sukarno dan Tan Malaka dengan marhaen serta murba. Tetapi, sejak di Gementeraaden pada September 1919, ia telah menyusun rumusan yang kukuh bahwa wong cilik atau jelata yang dianggap non faktor itu bukan hanya di desa-desa, perkebunan, dan pabrik. Ada juga di kampung-kampung kota. 

Pada 1921, Thamrin mulai meraih dukungan di dewan bahwa pemerintah kota harus mengalokasikan dana setidaknya 100.000 gulden untuk perbaikan kampung. Pieter F. Dahler dari  Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) mengakui bahwa ia belum pernah mendengar keadaan penduduk pribumi di kampung-kampung diuraikan begitu jelas, menyedihkan, dan lengkap dokumennya. 

Agar lebih kuat dalam mengadvokasi nasib kampung dan kaum miskin kota, Thamrin membentuk Kaum Betawi pada 22 Desember 1923. Betawi di sini tak merujuk keaslian, tapi keanekaragaman urban dari desa-desa yang membentuk budaya baru di kampung-kota. Dari sini Thamrin punya akses lebih kuat ke masalah-masalah kaum miskin kota. Mulai dari distribusi beras, pajak rumah sewa, pasokan air bersih, gelandangan, gaji tukang sado, supir, kaki lima sampai urusan drainase dan banjir yang berujung program bandjir kanaal.

Anhar Gonggong penulis biografi Thamrin mengakui “kemampuannya berpidato dan gaya berdebatnya menimbulkan hormat serta kagum bagi lawan maupun kawan”. Ini tak menjamin usulannya lancar. Di masa sidang 9 April 1923, ia mengungkapkan dana program perbaikan kampung diturunkan hanya 30.000 gulden. Setiap tahun tidak naik dan diselewengkan untuk perawatan tanah-tanah para tuan tanah di Batavia. Tetapi, bagaimana pun, tak dipungkiri betapa penduduk pribumi miskin merasakan di dewan ada upaya meringankan beban mereka. Sesuatu yang sebelumnya dirasa tanpa harapan, kini agaknya ada perubahan dramatis. 

Keluarga Thamrin memang sohor jadi tempat siapa pun menemukan jalan bagi sesuatu hal yang dianggap tanpa harapan. Ini kata Pramoedya A. Toer. Ia berasal dari keluarga kaya berdarah Inggris, Belanda, Sulawesi. Tapi, sebagai anak Betawi yang lahir pada 16 Februari 1894, ia ikut budaya Islam ibunya. Ia dididik memuliakan sedekah dan wakaf. Bukan sekadar mendirikan masjid, terutama sekali bagaimana membawa kemaslahatan bagi umat yang paling rentan. Ini membekas kuat pada Thamrin, sehingga jika orang—bahkan yang sudah kaya raya—mencari kekayaan dari politik, sebaliknya ia justru mewakafkan seluruh harta dan hidupnya, kalau perlu sampai tekor, untuk mencapai kemaslahatan umat via politik.

Contohnya gedung Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) di Jalan Kenari. Thamrin beli lalu dipinjamkan dengan air dan listrik yang dtanggungnya untuk pergerakan ketika mulai di Volksraad, 16 Mei 1927. Saat di PPPKI itulah Thamrin-Sukarno menjadi dwitunggal pergerakan. Thamrin muncul sebagai garda terdepan oposisi di dalam maupun di luar sistem. Keradikalannya terbaca dalam sembilan pidato dan dua mosi tahun pertama Thamrin di Volksraad. 

Berkat kekayaannya, selain kecerdasan dan komitmen, Thamrin lincah bergerak dalam banyak isu nasional. Ia bisa segera ke Sumatera Timur ikut menghentikan poenale sanctie yang menindas buruh, membantu keuangan kaum pergerakan, termasuk sekolah pribumi yang jadi korban ordonansi sekolah liar. Bahkan ia mendorong klub-klub sepakbola pribumi menjadikan sepakbola medium pergerakan, sehingga lahir Voetbal Indonesia Jakarta (VIJ). Dirogoh dari koceknya 2000 gulden agar klub cikal bakal Persija ini punya stadion pribumi pertama dengan standar internasional. 

Pada 1930-an itu, Thamrin tak lagi nuntut perluasan peran pribumi, tapi Indonesia merdeka sekarang. Reserse-reserse dan mata-mata Algemene Recherche Dienst (ARD) mulai mengekernya. Saat itulah Sukarno melihat Volksraad pada 1919 telah berubah jadi arena politik baru pergerakan di bawah Thamrin. Aktivitas politik Thamrin tak langsung berkait dengan Sukarno, tetapi ia kemudian pelan-pelan mereka mendekat dan terlibat dalam hampir semua peristiwa penting pergerakan nasional seperti yang tercermin dalam pembentukan PPPKI. Saking dekatnya bahkan Sukarno ditangkap di halaman rumah Thamrin pada 1 Agustus 1933 dinihari.

Dengan semakin kerasnya pemerintah kolonial, Thamrin berkesimpulan Belanda telah menyia-nyiakan kesempatan menjalin hubungan baik dengan Indonesia. Belanda hanya melihat Indonesia dan rakyatnya sebatas ruang menjarah serta memerah, sehingga kemiskinan, kerusakan, kebobrokan merebak. Cara mengubah semua itu satu saja: merdeka. Hanya kemerdekaan yang memungkinkan dibentuk dewan rakyat yang demokratis tempat apa yang benar, bukan yang untung diperjuangkan.

Tetapi, di tengah keyakinan Thamrin sejarah akan berpihak pada pergerakan, pemerintah kolonial menemukan momentum untuk meringkusnya yang dicap “pengkhianat tingkat tinggi”. Letupan sentimen kawannya di GAPI yang berujung pengkhianatan memungkinkan pada 9 Januari 1941, Thamrin yang sedang sakit ringan digeledah tengah malam dan seketika itu juga dijadikan tahanan rumah. Termasuk putrinya dilarang pergi sekolah. Semua upaya pembebasan ditolak ARD, bahkan dari Ketua Volksraad, Jonkman. Pada 11 Januari 1941, dini hari sejumah orang dengan dokter datang dan tak lama kemudian mereka pergi sambil menitip pesan, “Thamrin sedang istirahat jangan diganggu”. Pagi buta, 11 Januari, macan Volksraad itu meninggal.

Tak kurang 20.000 orang yang mengalir khidmat mengantar jenazah Thamrin. Iring-iringan yang mengular panjang dari rumahnya di Sawah Besar menuju pekuburan rakyat Karet. Sukarno mengarsiteki pusaranya dan memilih sendiri material batunya di Bogor. Jarang kematian seseorang begitu menggetarkan puluhan ribu orang berminggu-minggu. Bahkan sampai bertahun-tahun. Sebab memang betapa jarang menemukan seseorang yang mempertaruhkan keselamatan dan kelanjutan hidup diri sendiri, serta hartanya sampai tekor untuk mengabdi kepada sesuatu yang agung: kebenaran.

Lihat Profil Tokoh Bangsa Lainnya