Moh. Natsir
(1908-1993)
Pemikir Islam Pemimpin Nasionalis Indonesia

“Bukalah Alquran halaman mana saja. Sudah pasti akan dirasa oleh tiap-tiap seseorang yang membacanya, betapa besar dorongan Islam untuk memakai akal dan mempergunakan pikiran sebagai nikmat Tuhan yang tidak ternilai harganya,”
-Mohammad Natsir
Bagaimana tempat agama, wabil khusus Islam dan umatnya, di dalam negara Indonesia? Hubungan agama dan negara ini menjadi pedebatan yang panjang dalam sejarah Indonesia dan tidak ada orang yang sumbangannya paling besar tentang hal itu selain Mohammad Natsir.
Debat hubungan agama dan negara yang ramai pada tahun 1930-an, saat Indonesia masih diimajinasikan, tak juga berakhir sampai Natsir meninggal Sabtu malam, 6 Februari 1993 dan di makamkan di Karet, Tanah Abang. Natsir adalah anak pegawai pemerintahan tingkat rendah di Alahan Panjang, Sumatera Barat. Ia dilahirkan di sana pada 17 Juli 1908. Sejak kecil ia dikenalkan ajaran-ajaran pembaruan Islam.
Dalam urusan sekolah, Natsir korban diskriminasi kolonial. Sebagai anak pegawai rendah Natsir ditolak masuk sekolah dasar pemerintah, HIS (Hollandsch-Inlandsche School), di Solok maupun Padang sejak 1916. Jika kemudian diterima itu pun dengan menempuh ujian berat setelah ditempa di sekolah partikelir HIS Adabiyah Padang. Pada 1923, Natsir mendapat beasiswa sekolah lanjutan pertama pemerintah, MULO (Meer Uitgebreide Lagere Onderwijs) di Padang. Di sini ia pertama kali sekelas dengan anak-anak Belanda yang mengejeknya vuile inlanders (pribumi yang kotor). Namun, di MULO ini pula Natsir mulai mengembangkan bakat seninya dalam menggesek biola. Iapun menjadi anggota kepanduan Jong Islamieten Bond (JIB) yang didirikan di Yogyakarta pada 1925.
Selain itu, Natsir belajar pada tokoh Islam modernis di Maninjau dan Padang Panjang, yaitu Engku Mudo Yamin dan Haji Abdullah Ahmad. Dalam kilas balik Natsir mengungkapkan saat itu, ia mulai melihat ketidakadilan yang dialaminya dan mayoritas pribumi bukan urusan warna kulit, peradaban Barat dengan Timur, atau mereka Islam dan Belanda yang Kristen, melainkan persoalan yang hak dengan yang batil. Sebab itu ia ingin menjadi seorang sarjana hukum, Meester in de Rechten, yang saat itu dalam pandangan masyarakat adalah orang luar biasa.
Natsir pun mencari beasiswa agar dapat ke Algemene Middelbare Scholen (AMS) sekolah lanjutan sebelum ke perguruan tinggi. Upayanya berhasil, ia diterima di AMS Bandung. Sepanjang 1927–1930, ia di kota kembang mengikuti AMS yang membuka jurusan Western Classic (Klasik Barat), sehingga bisa belajar bahasa Latin. Pelajaran pokok ini berat, tetapi ia berhasil dapat nilai terbaik dan jalan yang membuatnya cepat menguasai berbagai bahasa yang memudahkan penjelajahan intelektual. Perasaan kebangsaan pun menguat di sini yang tercermin saat Natsir membuat makalah mengagetkan tentang nasib tragis petani tebu dan eksploitasi kolonial yang menguntungkan kaum modal Belanda untuk menanggapi guru geografi dan ekonomi. Sejak itu pula ia berhubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Agus Salim, Tjipto Mangoenkoesoemo.
Saat itu pula Natsir berkenalan dengan A. Hassan, guru utama Persatuan Islam (Persis) yang mengembangkan dirinya sebagai pemikir Islam. Publikasi pertamanya muncul dalam surat kabar Algemene Indish Dagblad (AID). Natsir pun mulai memberi ceramah dan berdebat di JIB Bandung. Di sini ia bertemu Kasman Singodimedjo, Mohamad Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Putti Nurnahar yang kelak menjadi istrinya.
Natsir lulus dan berhak lanjut ke sekolah tinggi hukum Recht High School (RHS) Batavia. Namun, cita-citanya telah berganti. Ia menyurati orang tuanya dan menyatakan izin untuk berkhidmat pada perjuangan Islam. Berbekal uang 65,00 Gulden sisa beasiswanya, Natsir menyewa rumah di Bandung dan bersama A. Hassan mendirikan majalah Pembela Islam. Majalah ini membawa ia berhadapan dengan soal-soal politik dan keislaman saban hari. Lebih jauh, membawa Natsir juga dalam perenungan mencari jawaban filosofis dan praktisnya.
Salah satunya adalah soal pendidikan Barat dan Timur serta pendidikan Islam. Baginya pendidikan Islam seharusnya tidak membesar-besarkan antagonisme Timur dan Barat. Sebab Islam hanya mengenal antagonism yang hak dan yang batil. Semua yang hak dari Barat diterima, semua yang batil dari Timur disingkirkan. Yang baik dari Barat dan Timur adalah serangkai yang saling melengkapi. Dari sini Natsir mendirikan sekolah yang bentukannya dimulai dari kursus. Sekolah itu yang disebut Pendidikan Islam berkembang mulai Taman Kanak-Kanak, HIS, MULO, dan Kweek School atau sekolah guru. Selama 1932–1942, Natsir tumbuh sebagai pendidik. Kelak sukses ini membuat Natsir pada 5 Mei 1942 diserahi menangani pendidikan di dalam Kotapraja Bandung setelah Belanda ditekuk Jepang. Sekaligus ia menjadi sekretaris dewan pengurus Sekolah Tinggi Islam yang didirikan di Jakarta.
Aktivitas sebagai pendidik dijalani Natsir bersama dengan aktivitas politik. Pada 1932, ia menjadi ketua kernlichaam (badan inti) di JIB Bandung. Lantas 1937, ia menjadi Wakil Ketua Persis dan pada 1940 menjadi ketua Cabang Bandung dari Partai Syarikat Islam (PII) yang dihidupkan kembali. Pada 1942, ia menjadi angggota kepemimpinan MIAI Bandung. Semua aktivitas itu membuat Natsir selama 1930-an, mengembangkan nama baik sebagai jurnalis, pendidik, pemimpin dan juru bicara yang paling fasih Islam modernis.
Tulisan-tulisannya pun berseberangan dengan kekuasaan kolonial. Ia menegaskan bahwa kekuasaan kolonial adalah bentuk eksploitasi manusia atas manusia, eksploitasi manusia oleh negara. Gagasan Islam modernis Natsir tercurah selama ia jadi jurnalis di Pembela Islam, majalah tengah bulanan Persis. Ia memainkan peran terdepan dalam perdebatan-perdebatan soal agama di tahun-tahun 1920-an hingga 1940-an, sekaligus manaiknya wacana Islam sebagai ideologi politik melawan kejahatan kolonial dan peminggiran perannya dalam berbangsa.
Sukarno memuji Natsir sebagai juru bicara Islam di kalangan terpelajar. Mereka melakukan perdebatan dan tidak berhenti di awal 1930 saja, tetapi terus sampai jatuhnya Hindia Belanda pada 1940-an. Polemik Natsir dan Sukarno adalah pokok masalah sekaligus klimaks tentang hubungan agama dan negara. Termasuk tentang demokrasi. Tetapi, polemik ini tidak berakhir dan menjadi masalah yang terus menjadi pokok perdebatan penting menjelang Indonesia merdeka di BPUPK dan PPKI.
Pada awal masa kemerdekaan, Natsir menjadi politikus dan negarawan yang penting di Indonesia. Ia di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) sejak 25 November 1945. Pada 3 Januari 1946, ia ditunjuk menjadi Menteri Penerangan Indonesia pertama, hingga 1949. Pada 1950, Natsir mengumumkan Mosi Integral Natsir yang berhasil menyatukan kembali Republik Indonesia menjadi negara kesatuan, yang sebelumnya sempat berbentuk federal. Atas jasanya itu, pada 1950–1951, Presiden Soekarno menunjuk Natsir menjadi Perdana Menteri. Ketika itu, Natsir juga sedang memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar di Indonesia.
Pada masa ini Natsir yang dikenal “kesayangan Sukarno” bergeser menjadi sosok yang renggang dengan presiden pertama itu. Sukarno dipinggirkan dan dipenjarakan, tapi nasib Natsir tetap sama di zaman rezim penggantinya, Soeharto. Padahal, ia banyak membantu tegaknya Orde Baru melalui jaringannya di dunia internasional, terutama di negara-negara Islam. Natsir memang memimpin sejumlah organisasi Islam Internasional. Ia pernah menjadi Presiden Liga Muslim Dunia, Ketua Dewan Masjid se-Dunia, hingga Presiden Oxford Center for Islamic Studies di London. Tetapi, itu semua tak membuat ia bebas cekal, terutama karena menandatangani Petisi 50 yang mengkritik pemerintah.
Sementara dalam politik debat hubungan agama dan negara tak juga berakhir setelah Sukarno dijatuhkan dan Orde Baru berkuasa. Bahkan sampai kini. Kenyataan itu membuat posisi historis Natsir begitu penting untuk memahami sejarah Indonesia dan sumbangsih pemikirannya dalam proses menjadi Indonesia. Pikiran-pikirannya yang merupakan kesinambungan sejarah pemikiran Barat serta seorang yang sangat modern, tak pelak membuat Natsir menjadi bagian dari pemikir Islam sekaligus pemimpin nasionalis Indonesia yang paling berpengaruh.