Pramoedya A. Toer
(1925-2006)
Mendidik Anak Bangsa Sejarah dan Ideologi Pemuda

“Harus adil sejak dalam pikiran,”
-Pramoedya A. Toer
Puluhan buku karya sastra dan ratusan cerita pendek serta esai yang sebagian diterjemahkan ke dalam semua bahasa utama di dunia juga beberapa bahasa lain di Asia dan Eropa telah membuat Pramoedya Ananta Toer menjadi penulis yang karya-karyanya menjadi alat paling cepat untuk mengenal Indonesia.
Selama beberapa tahun namanya disebut sebagai calon penerima Nobel. Beberapa universitas di Amerika memberinya gelar doctor honoris causa. Pramoedya tak salah lagi adalah sastrawan terbesar Indonesia dan juru bicara utama serta sosok paling besar kontribusinya mengenalkan Indonesia kepada dunia.
Pramoedya lahir 6 Februari 1925 di Blora, putra sulung seorang guru nasionalis. Ayahnya putra tertua seorang naib, sementara ibunya putri tengah seorang petinggi keagamaan dari Rembang. Ibunya adalah murid ayah Pramoedya di sekolah dasar pemerintah Belanda. Meskipun dari keluarga pendidik, tetapi sekolah Pramoedya tidak baik. Seharusnya lulus sekolah dasar tujuh tahun, namun dia selesai pada tahun kesepuluh.
Ketika Pramoedya duduk di kelas lima sekolah dasar ia mulai sadar konflik antara orang tuanya sebagai akibat kesulitan-kesulitan ekonomi dan berakar dari keterlibatan ayahnya dalam politik. Perca-perca pengalaman masa kecilnya itu dijahit dalam kumpulan cerpennya Tjerita Dari Blora (1952). Dalam konflik ini ia memihak ibunya. Inilah yang kemudian membekas dalam karyanya tentang keluarga sebagai ruang tumbuhnya identitas, bukan hanya pribadi tetapi juga kebangsaan dan bagaimana posisi perempuan yang istimewa di dalamnya.
Karyanya yang paling ambisius setelah lepas dari pemenjaraan di Pulau Buru, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca mencerminkan hal itu. Masih dalam perspektif yang sama, Pramoedya menilai kebangkitan nasional bermula dengan lahirnya sosok Kartini pada akhir abad ke-19, yang dikisahkan dalam novelnya Panggil Aku Kartini Saja. Pramoedya juga menandai kejatuhan peradaban melalui perlakuan buruk terhadap perempuan oleh kekuasaan yang patriarkis dalam novelnya Gadis Pantai, Midah Si Manis Bergigi Emas, dan dalam cerita sejarah lisan Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer.
Selain itu, pengalaman di tengah konflik keluarga itu membuat keseluruhan karya Pramoedya adalah perwujudan pemuda ideology, ideologi pemuda. Bukan hanya karya dari Pulau Buru yang masyur itu yang berpusat pada tokoh pemuda Mingke, tetapi karya-karyanya sejak awal menggambarkan kepercayaan pada konflik antara yang tua dengan yang muda, paradok anak dan orang tua, sebut saja yang terkenal Di Tepi Kali Bekasi (1950) yang ditimba dari pengalamannya mengikuti revolusi. Di sini, tokoh utama adalah angkatan muda.
Sementara pengalaman di jantung revolusi dengan pemenjaraan yang mengikutinya membuat Pramoedya berasosiasi dengan kelompok-kelompok yang “disisihkan” dari masyarakat, seperti penjahat, pembunuh, penipu kecil-kecilan, mantan mata-mata, desertir, orang-orang Eropa, Eurasia, Arab, Cina, dsb. Ia sangat tertarik kepada masalah-masalah orang kecil. Termasuk mereka yang terbuang dari masyarakat, sulit menyesuaikan diri ke dalamnya. Mereka menjadi tokoh-tokoh penting dalam tulisan-tulisan Pramoedya. Ini jelas dalam Mereka Jang Dilumpuhkan (1951), Perburuan (1950) dan Keluarga Gerilya (1950) serta beberapa cerpen termasuk “Djongos dan Babu” yang kemudian masuk dalam Cerita Dari Jakarta (1957).
Ketika namanya mulai dihormati sebagai sastrawan, Pramoedya ikut berpolemik tentang krisis sastra yang dipicu esei Soedjatmoko di edisi pertama majalah kelompok sosialis Konfrontasi (1953). Hampir bersamaan ia diusir istrinya karena kesulitan ekonomi dan pada awal tahun berikutnya ia menikah lagi, kali ini dengan Maimunah Thamrin, keponakan pemimpin nasionalis Husni Thamrin. Maimunah mendampinginya hingga akhir hayat. Meskipun menyatakan krisis sastra yang ramai dipolemikkan pada awal 1950-an sebagai omong kosong, Pramoedya jelas terpengaruh. Ia menyadari kegagalan cita-cita revolusi kemerdekaan. Ini menuntutnya memikirkan ulang fungsi sastrawan yang sekaligus adalah intelektual dan berkewajiban menjadi bagian dari pewujudan cita-cita revolusi kemerdekaan bangsanya.
Sampai di sini Pramoedya memiliki pertanyaan penting: “bagaimana memahami cita-cita revolusi sebagai buah nasionalisme tanpa memahami proses nasionalisme terbentuk?” Tahun 1955, ia sibuk mempelajari sejarah negerinya dengan menjadi tamu tetap di perpustakaan Museum Nasional di Jakarta. Selain itu, ia juga mulai terlibat dalam wacana politik nasionalisme Sukarno dan semakin kuat masuk ke dalamnya setelah ia kambali dari Cina yang dikunjungi pada Oktober 1956.
Sejak itulah Pramoedya tidak memisahkan kerja-kerja sastranya dengan politik dan sejarah kebangsaan. Januari 1959, ia menghadiri kongres nasional pertama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Di sini ia ditunjuk sebagai wakil ketua Lembaga Sastra Indonesia, divisi sastra Lekra yang diketuai Bakri Siregar. Maret 1960, ia menerbitkan tulisannya yang berbasis sejarah tentang kaum minoritas Tionghoa, Hoa Kiau di Indonesia. Buku ini menyebabkan ia dipenjara selama 9 bulan dan baru dibebaskan pada 1961.
Usahanya mempelajari sejarah Indonesia tetap berkobar setelah ia keluar dari penjara karena kasus Hoa Kiau di Indonesia itu. Apalagi ia mendapat tawaran mengajar di Universitas Res Publica. Ini mempertemukan Pramoedya dengan puluhan mahasiswa yang memungkinkannya melanjutkan proyek memahami sejarah Indonesia. Setiap semester ia mengirim mahasiswanya mempelajari bahan-bahan sejarah di perpustakaan Museum Nasional yang lambat-laun memungkinkannya membangun perpustakaan sejarah yang luar biasa, dengan sekitar 5.000 judul buku, belum termasuk salinan surat kabar dan majalah lama, rekaman wawancara, arsip dan dokumen lainnya. Ia akhirnya punya bahan menyusun riwayat Indonesia secara sistematis.
Dari sanalah ia mengisi “Lentera”, kolom sastra koran Bintang Timur edisi Minggu, dari 1961 hingga 1964. Setiap minggu ia menulis sekurangnya 40 halaman ketik rapat untuk “Lentera”, belasan halaman lain untuk studinya tentang berbagai aspek sejarah negerinya, seperti empat jilid Panggil Aku Kartini Saja, studi tentang asal-usul sastra Indonesia dan studi tentang perkembangan bahasa Indonesia.
Di tengah kerja kerasnya mempelajari, berpikir dan menulis tentang sejarah Indonesia pecah G30S 1965. Ia ditangkap dan dipenjara kemudian dibuang ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan. Perpustakaan sejarah yang dibangunnya dihancurkan. Dekat 1980, ia baru dibebaskan dan terbitlah karya besarnya Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Lantas menyusul Arus Balik (1995). Siksaan, penjara dan pembuangan tak menyurutkan jalannya menjadi manusia modern Indonesia dengan mengetahui sejarah bangsanya. Bagi Pramoedya, pembelaan terhadap Indonesia dimulai dengan merebut kembali pengetahuan tentang masa lalu yang selama ini dikuasai penguasa kolonial dan para pengikutnya di zaman merdeka. Sebab itu jika ada yang bilang “hidup dilalui ke depan, tapi dipahami ke belakang”, maka Pramoedya telah memenuhi kewajiban serta cita-citanya “untuk mengajarkan sejarah” kepada bangsanya agar dapat memiliki peta ke masa depan.