Rohana Kudus
(1884-1972)
Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia

Pahlawan Nasional Siti Rohana Kudus, ia dilupakan setelah memainkan peran besar dalam sejarah kebangkitan perempuan di Sumatera dan pers perempuan pertama di awal abad ke-20 serta keterkaitannya dengan gagasan kemajuan yang berujung pembentukan nasionalisme Indonesia. Namanya disebut-sebut kembali justru setelah ia meninggal di rumah anaknya di Jl. Sukabumi No. 1, Menteng, Jakarta dalam usia 88 tahun pada 17 Agustus 1972 dan di makamkan di Pekuburan Rakyat Karet Bivak, Jakarta.
Saat itulah orang-orang mulai dengan takjub dan takzim menyebut nama Rohana yang pernah sohor sebagai “pelopor pendidikan kaum perempuan di Minangkabau”. Bahkan disebut “Kartini dari Minangkabau” yang dengan demikian disejajarkan dengan R.A. Kartini (1879–1904) “ibu nasionalisme Indonesia”. Termasuk jurnlais perempuan peratama dan paling lama yaitu sekitar 30 tahun, 1912–1942.
Rohana lahir pada 20 Desember 1884. Ia tidak mengecap sekolah karena terus mengikuti ayahnya Muhammad Rasyad gelar Maraja Sutan yang berpindah-pindah kota sebagai juru tulis sampai menjadi jaksa di Medan. Rohana belajar baca tulis dari ayahnya yang memungkinka ia membaca banyak surat kabar terbitan Medan serta Batavia. Pada usia 10 tahun, ia mulai merasa perlunya kepandaian dan kemudian membuka sekolah gratis di rumahnya di Koto Gadang sejak 1897. Karena di rumah ia tinggal dengan neneknya Tuo Tarimin dan Tuo Tini, maka di sekolah perempuan pertama di kampungnya itu selain baca tulis serta ilmu agama diajarkan pula keahlian kedua neneknya yang terkenal, yaitu menyulam dan menganyam.
Sekolah ini membuat Rohana terkenal sampai ke Bukittinggi, pusat pemerintahan Padang Bovenlanden. Tetapi, cita-cita mulai sering harus menghadapi rintangan dan inilah yang ditemui Rohana. Ia harus menghadapi sejumlah orang berpikiran sempit menggunakan moral adat-tradisi dan agama yang menyatakan bahwa ia meracuni budi pekerti anak perempuan Koto Gadang. Ini bercampur dengan terlambatnya Rohana menikah saking asyik mengurus cita-cita telah lewat usia 15–17 umumnya perempuan di Koto Gadang menikah. Pada usia 24 tahun, Rohana baru menikah dengan Abdul Kudus gelar Pamuncak Sutan, pemuda Koto Gadang yang pernah mengecap sekolah Tinggi Hukum di Batavia yang bekerja sebagai notaris serta aktif dalam pergerakan di partai Insulinde. Mereka menikah 1908. Kudus adalah putera Dt. Dinagari, Kepala Laras IV Koto di Koto Gadang. Demi mendinginkan suasana Rohana bersama suaminya memutuskan hijrah dari Koto Gadang ke Maninjau lantas Padang Panjang selama tiga tahun.
Pada Januari 1911, Rohana dan suaminya kembali ke Koto Gadang. Ia siap mendirikan sekolah untuk kaum perempuan yang baru. Tidak lagi di rumahnya tetapi gedung sendiri. Ia pun menyiapkan struktur organisasinya dengan legalistik yang kuat sebagai kegiatan masyarakat bukan pribadi. Untuk ini ia menggagas berdirinya perkumpulan yang diumumkan dalam satu rapat akbar di Koto Gedang dengan nama Kongsi Amai Setia (KAS). Tujuannya jelas yaitu memajukan kaum perempuan. Sekolah ini cepat berkembang dan mendapat perhatian karena kualitasnya serta keyakinan bahwa kesejahteraan perempuan dapat dicapai dengan menghidupkan kembali warisan Minangkabau, seperti jahit dan tenun dengan motif-motifnya yang diambang kepunahan. Ini telah membuat KAS memiliki jaringan luas dan produksinya digemari perempuan Belanda bahkan dikirim sampai Eropa.
Sekolahnya itu membuat Rohana dikenal tetapi ia merasa untuk memajukan kaum perempuan tidak cukup dengan sekolah saja. Pada 1912, ia menulis surat kepada Datuk Sutan Maharaja, redaktur Oetoesan Melajoe yang sohor sebagai ‘Bapak Jurnalisme Minangkabau’. “Jika sekiranya kaum ibu dapat pula maju dalam persurat kabaran ini, maka semakin semaraklah perjuangan kaum perempuan,” demikian tulis Rohana seperti diungkapkan Tamar Djaja dalam Rohana Kudus: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (1980). Saat itu satu surat kabar pun untuk kaum perempuan belum ada. Begitu juga belum ada satu pun jurnalis perempuan.
Maharaja memperhitungkan benar prestasi Rohana. Ia telah menyaksikan Rohana berhasil mengembangkan sekolah kerja di rumahnya menjadi organisasi perempuan pertama yang mapan: Kerajinan Amai Setia (KAS). Termasuk mempelopori mendirikan Vereeningingen Studiefonds, yaitu dana beasiswa dari masyarakat untuk mengirim pemuda-pemudi Koto Gadang belajar ke daerah rantau. Semua itu membuat Rohana berhasil memperoleh kepercayaan Maharaja mengisi rubrik perempuan dalam Oetoesan Malajoe. Pers dan sekolah dikelola bersamaan oleh Rohana. Selang setahun, 1912, Rohana mendapat kepercayaan Maharaja untuk menerbitkan surat kabar perempuan pertama di Indonesia dan menitipkan putrinya Zahara Ratna Juita di dalam keredaksiannya.
Pada 10 Juli 1912, Soenting Melajoe, diterbitkan di bawah keredaksian Rohana dan Zahara. Surat kabar ini terbit tiga kali dalam seminggu dan selama hampir sepuluh tahun berhasil menarik perhatian banyak penulis perempuan Minangkabau. Soenting Melajoe merupakan satu-satunya forum publik poertama bagi perempuan terdidik Minangkabau sampai hadirnya penerbitan Soeara Perempoean pada 1918. Rohana memimpin organ feminis yang menyebarluaskan ide tentang kemajuan dan ini kemudian menemukan tantangan. Tulisan-tulisan Rohana di Soenting Melajoe dapat ditangkap tujuan surat kabar itu adalah memajukan kaum perempuan, menambah pengetahuan dan mendorong mereka untuk mandiri dengan memiliki kepandaian serta keterampilan.
Bersamaan, Rohana berupaya mengembangkan KAS agar punya gedung sekolah sendiri dan tidak lagi menumpang di Gedung Studiefond. Setelah mencari pendapat di antara anggota dan jaringan pejabat Belanda pendukung politik Etis di Bukittinggi, diputuskan dana akan dicari melalui menjalankan lotre pemerintah. Bersamaan ia juga mendapat undangan untuk mengikuti Pameran Kerajinan Internasional di Brusel. Namun, untuk kedua kali ia harus menghadapi fitnah yang diikuti pembunuhan karakter terhadapnya sebagai perempuan pelanggar adat dan agama. Bahkan ini masih ditambah dengan Rohana difitnah melakukan mal administrasi dana lotre yang digalang di KAS. Ia sampai harus menghadapi pengadilan di Landraad Fort de Kock, Bukittinggi dan dapat membuktikan tak bersalah serta dimenangkan oleh hakim. Meskipun Namanya telah dibersihkan, tetapi suasana ruang pendidikan yang dibangun telah rusak. Ia mundur dari sekolah dan semua aktivitas KAS.
Rohana bersama suami pindah ke Bukittinggi dan melahirkan anak satu-satunya Djasma Juni di sini. Pada 1916, ia mendirikan Rohana School. Rohana mendanai sekolah di tegah kota Bukittinggi ini dari uang sebagai agen mesin jahit Singer, hasil jualan obat apotiknya di Medan yang dibuka pada 1915 dan pendapatannya dari Soenting Melajoe. Pada awal 1920, Rohana meninggalkan Bukitinggi menyusul ayahnya yang menduduki puncak karir tertinggi sebagai jaksa kepala di Medan dan di sini ia selain mengajar di Sekolah Dharma, juga aktif sebagai redaktur surat kabar Perempuan Bergerak.
Dalam kilas balik aktivitas Rohana dalam junalistik dan pendidikan menempatkannya menjadi figur pertama di Ranah Minang yang berupaya melakukan reposisi peran perempuan. Ia berusaha tidak menjadi objek atau sekadar penonton dari perubahan yang sedang terjadi di lingkungannya. Bersama kaum perempuan lain, ia ingin menjadi subjek yang utuh dan ikut memainkan peranan serta punya posisi yang setara dalam arus perubahan yang ditandai oleh tumbuhnya sejumlah organisasi perempuan yang sebagian besar bersifat lokal sejak akhir dekade kedua abad ke-20.
Di dalam surat kabarnya, Soenting Melajoe, Rohana pada 1913 menulis: “Kita menyadari bahwa jalan kita masih panjang menuju alam kemajuan…mari kita berharap agar saudara-saudari “Melayu” senegeri saya yang bercita-cita meraih kemajuan dan kesejahteraan negeri, bangsa dan tanah air kita, memikirkan keadaan ini. Terutama sekali kaum perempuan harus menyadari dengan sepenuhnya.”